Hukum Progresif dan Hukum Responsif, Otonom, Represif
A.
Hukum
Progresif
Menurut
Satjipto Rahardjo,
Progresif adalah kata yang berasal
dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress yang
artinya maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum
progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan
rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun
pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan
yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai
terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah
untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Pengertian
sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif
adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum
(termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih
berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.
Secara
lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik
dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan
kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum.
Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan
bagi semua rakyat. Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap
kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum
progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang
berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya
sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena
itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk
menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada
untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada
status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga
hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar
asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:
1. Mempunyai
tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2. Memuat
kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum
progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas yang
tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4.
Bersifat kritis dan fungsional.
B. Hukum
Represif, Hukum Otonom, Hukum Responsif
Menurut
Philippe Nonet dan Philippe Selznick
1.
Hukum Refrensif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan
represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah
adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan
rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak
mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya.
Meskipun represi sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang
terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi
sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan
rakyat. Mengenai perbedaan antara represi
dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua,
represi tidak perlu memaksa. Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan
dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan
otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum represif dihubungkan
dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari
kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat). Nonet dan Selznick menyebutkan
beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu
adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang
lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah
kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan
kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah
tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan
individual dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
1. Institusi-institusi hukum langsung
terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan
tunduk kepada raison d e’tat.
2. Perspektif resmi mendomonasi
segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan
kepentingan masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk
mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban
atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah
terbatas.
4. Badan-badan pengawas khusus seperti
polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
6. Hukum dan otoritas resmi
dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
2. Hukum Otonom
Hukum otonom
berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom
merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan
oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan
dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada
kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas
institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi
khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan
dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling
penting dari hukum otonom adalah:
penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi dan swasta terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara
bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta
bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar
hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta. Sebuah
prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli
hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan
menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka,
melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial: Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial: Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
3. Hukum Responsif
Sifat responsif dapat
diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan
ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti
suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Nonet dan Selznick
menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara
integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam
melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan
cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan
yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan
bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi
mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya
dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi
merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep
hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum
responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan
tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain
daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak
lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi
secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam
kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide
tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan
substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a)
pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b)
pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada
peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan
tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri
melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih
besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil
dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang
terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud
memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk
kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang
sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta
nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik
yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana
ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan
hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling
tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern. Norma kerakyatan, pertama:
membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan
bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan
integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan
keputusan.
keren. kunjungi juga :-) Diskusi Kiat Sukses Kuliah
ReplyDeleteoyi
ReplyDelete