Perkembangan Islam Di Asia
Hingga saat ini, diskursus tentang Sejarah masuknya Islam di Asia Tenggara masih menjadi polemik panjang yang berstatus debatable di kalangan sejarawan, agamawan, arkeolog, hingga intelektual.banyak pernyataan dan pemahaman berbeda dari penelitian dan analisis yang mereka lakukan, hal antara lain karena tidak adanya kesepahaman cara pandang terkait proses masuknya Islam itu sendiri di Asia Tenggara.
Terlepas dari permasalahan diatas,
bagaimanapun Islam telah mampu memberikan pandangan hidup (way of
life) baru bagi penduduk Asia Tenggara. Dikatakan demikian karena penduduk yang
pada mulanya tidak mempunyai embel-embel agama yang kuat, sejak datangnya
Islam, mereka kemudian mempunyai agama dan berketuhanan. Yang perlu diapresiasi
adalah bahwa Islam datang di Asia Tenggara tidak serta merta menghilangkan
budaya atau lokalitas penduduk. Islam justru menjadi bingkai dan turut mewarnai
jalannya tradisi penduduk.
Muslim Asia Tenggara pun kerap kali disebut dengan muslim periferi (pinggiran) karena jauh dari Jantung Islam di Timur tengah,
namun komitmen mereka kepada Islam baik secara
spiritual maupun psikologis sangatlah dinamis serta tidak banyak berbeda dengan
masyarakat Muslim lainnya di mana pun juga. Secara intelektual, Muslim Asia
Tenggara selalu bersikap terbukti dan reseptif terhadap proses Islamisasi yang
berlangsung terus menerus yang merupakan cirri masyarakat itu selama
berabad-abad. Sebaliknya, dengan cirri yang sama dangan kaum Muslim lainnya
mereka juga merupakan masyarakat yang mudah terkena oleh perubahan yang
mengganggu mereka dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya yang mencapai
tingkat ketakwaan tertinggi serta kesempurnaan dalam Islam terus menerus
menempati pikiran sejumlah besar kaum Muslim di Asia Tenggara, yang dibatasi
hanya oleh kapasitas individual mereka masing-masing.
Bagaimanapun
juga, Asia Tenggara tidak monolitik. Gambaran kompleksitas suku di wilayah ini sangatlah
menakjubkan, bahkan di kalangan Muslim. Diakui Islam memang telah
mengomogenkan dan menyatukan segmen-segmen penduduk Asia Tenggara yang besar.
Namun tetap tidak seluruhnya. Lepas dari pola keseragaman beragama secara
kelahiriah dan kesamaan identitas yang dapat diamati, Muslim Asia Tenggara
dalam beberapa hal tetap berbeda satu sama lainbaik itu bahasa, suku, dan
barangkali lebih penting dari itu semua, nasionalitas. Di satu sisi, kaum Muslim Asia Tenggaramerasa
di ayomi oleh Islamyang bisa melampau batas-batas Negara dan aliansi. Di sisi
lain, mereka juga diharap mentaati peraturan kenegaraan dan kewarganegaraan
yang sering menimbulkan petentangan dan loyalitas primordial dan keagamaan
mereka.[1]
Sejarah Islam Asia tenggara luar biasa galau dan
rumit. Kegalauan dan kerumitan itu bukan
hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri
sebagaimana direfleksikan oleh kaum Muslimin di kawasan ini, baik melalui
historiografi maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari, melainkan juga karena
pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia tenggara, baik yang dilakukan oleh kalangan
sejarahwan asing maupun pribumi,
hinga kini belum mampu merumuskan suatu
paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama.terdapat
perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia
Tenggara, yang kadang sulit dipertemukan
satu sama lain. [1]
Sebagai
Contoh, menyangkut sosok Islam dan
islamisasi di Asia Tenggara, belum ada kesepakatan di antara para ahli dalam
menentukan tolak ukur yang digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat
penetralisasi Islam pada masa awal dan di kalangan masyarakat pribumi.
Perbedaan perbedaan ini selain dsebabkan oleh perbedaan-perbedaan kategori yang
digunakan dalam melihat sosok islam tersebut, dan juga berkaitan erat dengan
perbedaan dalam memahami apa yang dimaksud dengan Islam. Sebagian Ahli melihat
tingkat penetrasi islamisasi berdasarkan kriteria minimal formal keagamaan, semacam pengucapan dua kalimat
syahadat,penggunaan nama muslim at pemakaia aksara arab pada batu nisan atau
pada pengambilan beberapa kata atau istilah yang berasal dari “pusat” dunia
Islam, seperti Timur tengah atau persia. Pengertian Islam seperti ini terutama
dianut sebagian besar sejarahan lokal, da sejumlah sejarahwan asing. Pada pihak
lain,sebagian sejarahwan lain lebih mengartikan Islam dari aspek sosiologis,
dalam pengertian sejauh mana islam dan perangkat institusinya berungsi secara
aktual dan secara keseluruhan di dalam masyarakat muslim setempat. Menurut
pandangan ini, pengucapan kalimat syahadat
semata -sekalipun secara formal keagamaan sudah memadai untuk membuat seseorang
menjadi muslim- adalah secara superfisial dan tidak dapat dijadikan tolak ukur
penetrasi Islam di seluruh wilayah tertentu. Kalaupun diakui sebagai penganut
Islam, mereka digolongkan sebagai muslim ‘nominal” yang dipertentangkan dengan
muslim yang mempraktekan ajaran Islam secara lebih taat dalam kehidupan
sehari-harinya.
Namun
lebih jauhnya, mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara,
sedikitnya ada tiga teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam
datang langsung dari Arab, atau tepatnya di Hadramaut. Teori ini dikemukakan
Crawfurd (1820), Keyzer (1859). Crawfurd menegaskan Islam datang langsung dari
Arab, meskipun ia ,menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di
India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam bahwa Islam datang dari Mesir yang
bermazhab syafi’ie seperti yang dianut kaum muslimin nusantara pada umumnya.
Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan oleh Hollander, tetapi dengan meyebut
Hadramaut, bukan mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab Islam Hadramaut
adalah pengikut mazhab Syafi’i seperti
yang diyakini mayoritas muslim nusantara. Sedangkan Veth hanya menyebut
“Orang-orang arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur tengah maupun kaitanya
(kalau ada) dengan Hadramaut, Mesir, atau India.
Teori Kedua, teori yag mengatakan
bahwa Islam pertama kali datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel (1872). Berdasarkan terjemahan
Perancis tentang catatan Perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulka
bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syaf’i dari gujarat dan Malabar di India
yang membawa Islam ke Asia tenggara. Dia mendukung teori ini dengan menyatakan
bahwa melalui perdagangan, amat memugkinkan terselenggaranya hubungan antara
kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah persia-yang
dibawa dari India-digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan nusantara.
Teori ini lebih lanjut ditegaskan oleh Snouck Hurgronje yang juga menyatakan
bahwa para pedagang dari kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa
Islam ke wilayah Asia Tenggara tersebut.
Teori
ketiga, yang dikembangkan oleh Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari
benggali (kini Bangladesh). Ia Mengutip keterangan Tome Pures, yang
mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali
atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kalidi semenanjung malaya, dari
arah pantai Timur, bukan dari barat
(Malaka), pada abad ke 11, melalui kronton, Phanrang (Vietnam), Leran dan
Trengganu.
Berbeda dari pemaparan diatas, Menurut Uka Tjandrasasmita, prorses masukya
Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu[2]:
a. Saluran
perdagangan
Pada taraf permulaan, proses
masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan
pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut
ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan
Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan
karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan
mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan
mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan
karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa
tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang
ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya
faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena factor hubungan
ekonomi drengan pedagang-rpedrarrgarng Muslim.
Perkembangan selanjutnya
mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat
tinggalnya.
b.
Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para
pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan
pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik
untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan
terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin
luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim.
Dalam perkembangan
berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan;
tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini
jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan
atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu
kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden
Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri
Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah
(Raja pertama Demak) dan lain-lain.
c.
Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf
atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengana jaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal magis dan mempunyai
kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini
puteri-puteri bangsawab setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan
kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang
sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan
diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung
persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di
Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di
abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
d.
Saluran
pendidikan
Islamisasi juga dilakukan
melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh
guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon
ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari
pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwak ketempat
tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden
rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Kleuaran pesantren ini
banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.
e. Saluran
kesenian
Saluran Islamisasi melaui
kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan
Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak
pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk
mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih
dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di
sisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga
dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni
bangunan dan seni ukir.
f. Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi
selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih
dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini.
Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur,
demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan
non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk
kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[3]
Akhirnya
semua teori diatas jelaslah belum final. Meskipun telah banyak sejarahwan yang
menulis tentang masalah ini, kesempatan masih tetap terbuka bagi munculya
penafsiran-penafsiran baru berdasarkan penelitian atas sumber-sumber sejarah
yang ada berdasarkan
penelitian dan penulisan lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran Islam di
kawasan ini.
Negara dan Kesultanan
Islam di Asia Tenggara
a.
Malaysia
Malaysia merupakan kerajaan federal di Asia Tenggara yang terletak
di Semenanjung Malaka dan sebagian Kalimantan Utara. Malaysia terdiri dari dua
bagian yaitu Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Kerajaan federal Malaysia
meliputi 13 negara bagian,11 negara bagian Malaysia Barat yaitu Johor, Kedah,
Kelantan, Malaka, Negeri Sembilan, Pahang, Penang, Perak, Perlis, Selangor,
Trengganu dan dua negara bagian Malaysia Timur yaitu Sabah dan Serawak. Pada
setiap negara dipimpin oleh Sultan dan Menteri Besar dengan kepala negara
seorang raja yang dipilih oleh para Sultan negara bagian. Kepala
Pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Penduduk sebagian besar terdiri dari
suku melayu pribumi dan para pendatang terdiri dari orang muslim dan non
muslim, yaitu orang muslim dari Indonesia (Minangkabau, Jawa, Banjar, Bugis,
Aceh, Mandailing) dan orang muslim dari India, Arab, Cina, Pakistan, Persia,
Turki. Sedangkan penduduk non muslim adalah Cina dan India. Mayoritas
penduduknya adalah muslim Sunni pengikut Madzhab Syafi’i dan islam sebagai
agama resmi negara ini.
Tidak adanya dokumen yang lengkap mengenai kedatangan islam
ke Malaysia menyebabkan munculnya berbagai teori tentang kapan dan dari mana
Islam pertama kali menyebar di negara ini. Akan tetapi, sejarah masuknya Islam di
Malaysia tidak bisa terlepas dari kerajaan-kerajaan Melayu. Sebelum kedatangan
islam, Semenanjung Malaka berada dibawah pengaruh Sriwijaya dan kemudian
Majapahit. Di Semenanjung Malaya pada abad ke 10 M daerah kekuasaan kerajaan
Malaka telah menerima islam. Sampai saat ini islam menjadi agama resmi negara
federasi Malaysia. Undang-Undang Malaka (dikompilasi pada1450) dengan jelas
berisi hukum islam yang menetapkan bahwa pemerintahan Malaka harus dijalankan
sesuai dengan hukum Qurani. Prasasti Trengganu pada 1308 juga secara jelas
menunjukkan pelaksanaan hukum islam di kerajaan tersebut. Di dalam UU Pahang
terdapat sekitar 42 pasal di luar keseluruhan pasal yang berjumlah 68 yang
hampir identik dengan hukum madzhab syafi’i.[1] Ada yang mengatakan bahwa kedatangan
islam dan proses islamisasi berlangsung melalui jalur perdagangan atas peranan
para pedagang muslim dan mubaligh dari Arab dan Gujarat, para dai setempat dan
penguasa islam. Malaysia merupakan negara yang mempunyai peranan strategik di
kawasan Asia Tenggara pada khususnya dan dunia pada umumnya. Berada pada
kedudukan geografik yang menjadi lintas perdagangan antarabangsa sejak zaman
dahulu. Proses islamisasi yang berjalan baik dan terbentuknya
komunitas-komunitas islam melahirkan pusat-pusat kekuasaan islam. Kerajaan
Islam yang pertama di Semenanjung Malaka adalah Kerajaan Islam Kelantan (pada
pertengahan abad ke 12 M).[2] Berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Fatimi, bahwa islam datang pertama kali sekitar abad ke-8 H (14 M). Ia
berpegang pada penemuan Batu bersurat di Trenganu yang bertanggal 702H
(1303M). Batu bersurat itu ditulis dengan aksara Arab, pada sebuah sisi memuat
pernyataan yang memerintahkan para penguasa dan pemerintah untuk berpegang
teguh pada keyakinan Islam dan ajaran Rasulullah.[3] Pada abad ke 14 M Trengganu menjadi
pusat penyebaran islam di pantai timur Semenanjung Malaka dan sampai sekarang
disebut Daarul Iman (negeri iman).
Kerajaan Islam yang terkuat dan
berpengaruh besar dalam menyebarkan islam Malaysia adalah Kerajaan Islam Malaka
yang berdiri pada awal abad ke 15. Menurut sejarah melayu, rajanya yang pertama
adalah Parameswara Iskandar Syah yang memeluk agama islam pada tahun 1414
dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Beliau dan iparnya yang bernama Abdul Malik
Syah sangat berjasa dalam menyebarkan agama islam. Wilayah kekuasaan Malaka
sebagai pusat perdagangan dan kubu keimanan islam. Kerajaan ini juga dicatat
sebagai kerajaan pertama di Malaysia yang memiliki Undang-Undang tertulis yang
disebut dengan Undang-Undang Malaka. Sebelum masuknya pengaruh Inggris,
undang-undang asas atau undang-undang islam bersama adat melayu. Ketika
diperintah oleh Inggris sejak tahun 1795 islam masih tetap berkembang, hal ini
terlihat dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan islam seperti Ma’had
Mahmud(Kedah), Ma’had Johor dan Ma’had Al Muhammadi (Kelantan). Kemudian setelah
masa pendudukan Jepang (1941-1942), Inggris membentuk Union of Malaya pada 1
April 1946 yang kemudian menjadi Federation of Malaya dan islam menjadi agama
resmi.
Kodifikasi hukum Islam di Malaysia
setelah kemerdekaan(tahun 1957), otoritas legislatife dalam hal agama dan Hukum
Islam diserahkan oleh konstitusi federal kepada negara-negara bagian. Kepala
agama islam di setiap negara bagian dipegang oleh para penguasanya dan bagi
negara bagian yang memiliki penguasa dipegang langsung oleh raja. Raja juga
menjadi kepala agama di wilayah federal yang ditetapkan sejak tahun 1987.
Sampai saat ini hukum Inggris tetap diberlakukan dan ditetapkan pada sebagian
besar legislasi dan yurisprudensi. Dan hukum islam hanya dapat diterapkan pada
wilayah yang terbatas yaitu berhubungan dengan keluarga dan pelanggaran agama,
itupun hanya untuk orang islam saja.
Berbicara tentang Perkembangan Islam di Malaysia, hal tersebut
umumnya ditandai dengan tumbuhnya institusi-institusi
dengan baik. Hal ini menyebabkan peningkatan kesadaran beragama dalam sosial
keagamaan, politik, ekonomi dan lain-lainnya, sebagai contoh sebuah oposisi
Islam berkembang yaitu organisasi Kesatuan Nasional Melayu (UMNO) berusaha
menyokong oposisi keagamaannya sendiri melalui perekrutan tokoh-tokoh agama dan
berjanji memperjuangkan kepentingan Islam dan Pan-Melayu Islamic Party
(P.M.I.P) yang menjadi juru bicara bagi permusuhan komunitas Muslim terhadap
warga cina dan India. Orientasi keislaman P.M.I.P tidak hanya kepudulian
ekonomi tetapi juga kepedulian terhadap Perkembangan Islam. Malaysia
dewasa ini semakin menunjukkan adanya pluralitas keberagamaan yang dapat
memberi perlindugan bagi masyarakat non melayu yang pada umumnya menganut agama
non Islam, sehingga mereka hidup berdampingan satusama lain tanpa menimbulkan
gejolak.[4]
Di Malaysia, penduduk Muslim tidak
lebih dari 55% dari seluruh jumlah penduduk. Meskipun tidak semua orang muslim
adalah melayu, secara konstitusional orang melayu pasti muslim.[5] Citra dan nuansa islam lebih
kentara daripada agama yang lain. Ini dapat dilihat dari perbandingan sejumlah
negara yang berpenduduk muslim dan non-muslim yang hampir seimbang, hanya
Malaysia yang memberikan banyak tekanan pada symbol-simbol, lembaga dan
pengamalan islam. Hal ini dapat dibuktikan mulai dari deklarasi pemerintah
untuk merevisi sistem hukum nasional agar lebih selaras dengan hukum islam,
deklarasi pemerintah untuk menyusun kembali model dan sistem ekonomi Malaysia menjadi
model islam, selanjutnya diikuti oleh penyediaaan infrastuktur dan
instusi-instusi islam seperti Bank Islam, Asuransi Islam, Penggadaian Islam, Yayasan
Ekonomi Islam, pembentukkan kelompok number daya islam, serta kelompok khusus
penegakkan islam. Nuansa Islam lebih kuat di Malaysia dibandingkan dengan
Indonesia yang penduduknya 90% bergama islam. Hal ini disebabkan oleh faktor
sejarah perkembangan islam yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari perkembangan politik melayu sejak masa kesultanan. Islam bagi orang Melayu
bukan hanya sebatas keyakinan tetapi juga telah menjadi identitas mereka dan
menjadi dasar kebudayaan melayu. Pakaian tradisional melayu misalnya telah
disesuaikan dengan apa yang dianjurkan oleh Islam.[6]
Disepanjang sejarah asosiasi yang
sangat erat antara islam dengan kebudayaan, identitas melayu ini merupakan
sesuatu yang diterima secara umum. “ Sejak membuang kepercayaan Animisme dan
memeluk islam selain kerajaan Malaka ( abad ke- 15 ), Bangsa melayu tidak
pernah berubah agama. Islam telah menjadi bagian yang menyatu dengan identitas
nasional, sejarah, hukum, entitas politik dan kebudayaan melayu. Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila islam dianggap sebagi komponen utama budaya
melayu, dan sebagai unsur utama identitas melayu.
Dalam bidang politik pemerintahan,
juga terdapat konsepsi dan pemikiran politik yang dipengaruhi oleh ajaran
islam. Sehingga tradisi politik melayu yang berbasis hindu budha sebelum
kedatangan islam telah digantikan dengan ide-ide yang diilhami oleh al-quran
dan sumber-sumber islam lainnya. Namun akibat kolonialisasi inggris, identitas
keislaman Melayu itu mengalami degradasi, karena tidak jarang pihak
kolonial membuat berbagai kebijakan yang melemahkan fungsi dan peran islam
dalam Melayu. Penjajah tanah Melayu, oleh Inggris telah menyebabkan melemahnya
nilai-nilai Islam yang telah meresap dalam tatanan tradisonal Melayu.
Penjajahan itu tidak terbatas hanya pada aspek ekonomi dan politik saja tapi
termasuk juga penjajahan pikiran dan kebudayaaan.[7]
a.
Kesultanan
Malaka ( Abad ke-15 )
Kesultanan ini terletak di semenanjung Malaka berasal dari
kesultanan Samudra Pasai. Pendirinya
adalah seorang pangeran Majapahit Parameswara, yang mengembara ke Tumasik
(Singapura).Parameswara menikah dengan putrid Sultan Samudra Pasai dan kemudian masuk Islam. Kemudian
ia mendirikan kerajaan Malaka.[8]
Berkaitan
dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut sejarahnya nama Malaka dihubungkan dengan istilah Arab, malaqah (tempat
pertemuan) / malakat (perhimpunan segala dagang) / malqa (tempat bertemu).
Sedangkan versi orang pribumi mengatakan bahwa asal usul nama Malaka adalah
nama sepohon kayu Melaka ditebing muara Sungai Malaka.
Adapun Sultan-sultan yang pernah memimpin kesultanan Malaka antara lain[9]:
a.
Parameswara (Megat Iskandar Syah 1402-1424)
b.
Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
c.
Sri Prameswara Dewa Syah (1446-1459)
d.
Sultan Muzaffar Syah (1459-1477)
e.
Sultan Mansyur Syah (1459-1477)
f.
Sultan Madmud Syah
(1488-1528)
Parameswara
(pendiri Kesultanan Malaka) adalah keturunan Raden Wijaya, raja pertama
(1293-1309) dan penggagas Kerajaan Majapahit yang menikahi Sri Gayatri
Rajapatni, putri dari Sri Kertanegara raja terakhir (1268-1292) Kerajaan
Singasari. Raden Wijaya juga menikahi Ranamenggala, dan memiliki anak bernama
Parameswara yang lahir tahun 1344 pada saat neneknya, Ratu Tribuana Tunggadewi
memerintah Majapahit.
Pada
awalnya Malaka bukanlah sebuah Kerajaan beragama Islam. Hal ini berubah ketika
Parameswara menikah dengan Putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai dan masuk
Islam pada tahun 1406, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah, dan
menjadi Sultan Malaka. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat
berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Pemerintahan
Parameswara berkembang sangat pesat hingga menjadikan Malaka sebagai pelabuhan
yang sangat penting di Kepulauan Melayu, pada abad ke 15 (diteruskan hingga
abad ke 16). Tambahan pula Malaka merupakan tempat perdagangan rempah dengan
berfungsi sebagai pintu kepada negeri-negeri rempah untuk memasarkan rempah
mereka. Hal ini digambarkan ”Duarte Barbosa” yang berkata : ”Barangsiapa
mampu menguasai Malaka, berarti dia dapat
menguasai perdagangan dunia”. Parameswara wafat pada pada 1424 dan estafet
kepemimpinananya dilanjutkan oleh oleh anaknya, Sri Maharaja yang kemudian bergelar Sultan
Muhammad Syah (1424-1444).
Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum
muncul dan tersebarnya Islam disemenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama
mengadakan hubungan dagang disepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah
dengan Negeri Cina. Berkembangnya Agama Islam semakin memberikan dorongan pada
perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdegangan
mereka dikawasan timur semakin besar.
Sebagai
salah satu bandar ramai dikawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para
pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mudah menyebar di Malaka. Alam
perkembangannya, Raja pertama Malaka, yaitu Parameswara akhirnya masuk Islam pada
tahun 1414 M. dengan masuknya Raja kedalam agama Islam, maka Islam kemudian
menjadi agama resmi di kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut
masuk Islam.
Malaka menjadi pusat perkembangan agama Islam
di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan dimasa pemerintahan Sultan
Mansyur Syah (1459-1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan
perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada dibawah taklukan Malaka
banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran islam,
maka dilakukan perkawinan antar keluarga.
Sejarah
melayu juga membicarakan soal kedudukan alim ulama dalam sosio masyarakat
melayu Malaka. Dalam hal ini, golongan alim ulama mempunyai kedudukan tata
taraf yang istimewa dalam kerajaan melayu Malaka. Perananan mereka bukanlah
setakat mengislamkan pemerintah dan rakyat, tetapi juga menjaga institusi
pemerintah dari sudut agama. Walaupun mereka tidak menjadi keluarga istana
tetapi mereka mempunyai hubungan yang rapat dengan raja-raja Malaka.
Masa Kejayaan dan Kemunduran Kesultanan Malaka
Kegemilangan
yang dicapai Kesultanan Malaka disebabkan oleh beberapa faktor penting. Faktor
awal adalah, ketika Parameswara mengambil kesempatan untuk menjalin hubungan
baik dengan negara Tiongkok ketika Laksmana Yin Ching mengunjungi Malaka pada
tahun 1402. Hubungan erat ini memberi banyak manfaat pada Malaka, salah satunya
mereka mendapat perlindungan ketika mengelak dari serangan Siam.
Pada tahun
1459, Sultan Mansur Shah (1459-1477) menaiki tahta. Disebabkan kedudukannya
yang strategik, Melaka menjadi sebuah pangkalan luar yang penting bagi
kapal-kapal. Bagi mengeratkan hubungan diplomatik dengan Melaka, Maharaja China
telah menganugerahkan anaknya Puteri Hang Li Po dengan tujuan untuk dikahwinkan
dengan Sultan Mansur Shah. Untuk menyambut Hang Li Po, Sultan Mansur Shah juga
menghantar Tun Perpateh Puteh dengan segolongan pengiring ke negeri China untuk
mengiringnya. Hang Li Po tiba di Melaka pada tahun 1458 bersama-sama 500 orang
pengiring.
Diantara bukti kemajuan kesultanan malaka antara lain :
a. Wilayah Kekuasaan
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trengganu, dsb)
2. Daerah Kepulaun Riau
3. Pesisir Timur Sumatra Bagian Tengah
4. Brunai dan Serawak
5. Tanjung Pura (Kalimantan Barat)
b. Mempunyai Angkatan Tentara yang Kuat
Sebuah
kerajaan perlu mempunyai angkatan tentara yang kuat untuk mempertahankan
kerajaannya daripada dicerobohi oleh musuh. Malaka memiliki angkatan laut yang
besar. Orang laut menjadi tenaga penting dalam angkatan laut Malaka. Selain
itu, Malaka turut mempunyai pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa, berani dan
setia kepada Sultan. Antara pahlawan-pahlawan yang terkenal ialah Hang Tuah,
Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu.
Sebahagian
besar kelengkapan tentera Malaka terdiri dari pada kapal, bahtera, ghali,
ghalias, jong dan lancara. Peralatan senjatanya pula terdiri dari pada panah,
keris, lembing, meriam, lela, rentakal, istinggar dan pemuras. Kekuatan tentara
Malaka terbukti semasa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah apabila Melaka dapat
mematahkan serangan Siam sebanyak 2 kali tanpa bantuan China.
c. Sistem Pemerintahan yang Cakap dan Jujur
Sejak awal
pengasasan Malaka, telah wujud sistem pemerintahan yang tegas dan teratur.
Kerajaan Malaka telah diketuai oleh seorang Sultan yang akan dibantu oleh para
pembesar. Para pembesar mempunyai tugas dan tanggungjawab masing-masing.
Bendahara merupakan penolong Sultan dan penasihat Baginda. Penghulu Bendahari
bertanggungjawab menjaga semua harta kerajaan. Temenggung pula ditugaskan
menjaga keamanan di darat dan turut menjadi pengawal pribadi sultan. Semasa
pemerintahan Sultan Muzaffar Syah, Baginda telah memperkenalkan jawatan Laksamana.
Tugas utama Laksamana ialah menjadi ketua angkatan laut. Selain itu,
pembesar-pembesar berempat ini dibantu oleh pembesar delapan dan seterusnya.
Raja yang
memerintah Kesultanan Malaka disebut sebagai sumber dan pusat kuasa secara
sekuler. Dengan kedudukan raja yang istimewa dalam sistem berkerajaan, sumber
kuasa yang dimiliki oleh Raja, iaitu restu dari pada daulat yang dimiliki Raja
tadi, disalurkan pula bagi menggerakkan jentera serta tenaga pemerintahan.
d.
Politik Negara
Dalam
menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para Sultan menganut
politik hidup berdampingan secara damai (co-existenci policy) yang dijalankan
secara efektif. Polik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui
hubungan diplomatic dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga
keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang
harus diwasadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, malaka kemudian menjalin
hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari
politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang
putri Majapahit.
Dimasa
sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Lipo, putri raja Yung
Lo dari dinasti Ming, dengan sultan Mansur Syah. Dalam prosesi perkawinan ini,
sultan Mansur Syah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring
kenegeri Cina untuk menjemput dan membawa Hang Lipo ke Malaka, rombongan ini
tiba ke Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. Demikianlah, malaka terus berusaha
menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar.dalam melaksanakan
politik bertetangga yang baik,
Masa pemerintahan
Sultan Mansur Syah, Kesultanan Malaka mencapai kemuncak kekuasaannya dan
terdiri daripada Semenanjung Malaysia, Singapura, dan sebagian besar Sumatera.
Pesaing utama Malaka adalah Siam di Utara dan Majapahit di selatan. Majapahit
kemudian tumbang pada kurun ke 15. Siam pula telah menyerang Malaka sebanyak
tiga kali tetapi kesemuanya gagal.
Masa Kemerosotan Malaka
a. Kesultanan Terakhir Malaka (Sultan Mahmud Syah)
Pada tahun
1488, Sultan Mahmud Shah mewarisi Melaka yang telah mencapai kemuncak kuasa dan
merupakan pusat dagangan yang unggul di Asia Tenggara. Bendahara Tun Perak,
pencipta keunggulan Melaka, telah tua. Begitu juga dengan Laksamana Hang Tuah.
Pemerintahan Sultan Mahmud Shah juga mengalami rancangan jahat dan pilih kasih.
Beliau bukan seorang raja yang cekap, akan tetapi beliau juga seorang mangsa
keadaan. Ayahandanya (Sultan Alaudin Riayat Shah) mangkat pada usia yang masih
muda. Oleh itu baginda menaiki takhta ketika masih kanak-kanak. Portugal (25)
pada awal abad ke-16 sedang mengasaskan sebuah empayar luar negeri. Pada tahun
1509, Diego Lopez de Sequiera dengan 18 buah kapal dari Angkatan diRaja
Portugal tiba di Melaka. Mereka merupakan orang Eropa pertama yang tiba di Asia
Tenggara dan digelar "Benggali Putih" oleh orang tempatan. Oleh
kerana orang-orang Portugis membuat kacau di Melaka seperti mengusik
gadis-gadis dan mencuri, disamping perselisihan faham, Sultan Mahmud Shah
kemudiannya mengarahkan supaya orang-orang Portugis dihalau dari Melaka.
Angkatan Portugis diserang dan 20 anak kapalnya ditahan.
Pada 10
Agustus 1511, sebuah armada laut Portugis yang besar dari India diketuai oleh
Alfonso de Albuquerque (27) kembali
ke Malaka. Albuquerque membuat beberapa
permintaan membina markas Portugis di Malaka tetapi perrmintaannya ditolak oleh Sultan Mahmud Shah. Selepas 10 hari
mengepung, pihak Portugis berjaya menawan Kota Malaka pada 24 Agustus. Sultan Mahmud
Shah terpaksa melarikan diri ke Bertam, Batu Hampar, Pagoh and seterusnya ke
Pahang di pantai timur di mana beliau gagal dalam percubaannya mendapat
pertolongan daripada negera China.
Kemudian,
Sultan Mahmud Shah berpindah ke selatan dan mengasaskan Kesultanan Johor
sebagai pusat dagangan saingan kepada Melaka. Dengan ibu kotanya di pulau
Bentan yang terletaknya berdekatan dengan Temasuk (Singapura), beliau terus menerima
ufti dan kesetiaan dari kawasan-kawasan sekeliling yang diberinya sewaktu
beliau masih menjadi Sultan Melaka. Sultan Mahmud Shah menjadi ketua gabungan
Melayu dan berkali-kali menyerang Melaka. Pada tahun 1525, Laksamana Hang Nadim
berhasil mengepung Kota A Famosa sehingga pihak Portugis terpaksa membuat
catuan makanan dari Goa.
Di Bentan,
Sultan Mahmud Shah mengumpulkan semula semua askarnya dan menyerang Melaka
beberapa kali dan membuat sekatan perdagangan. Portugis merana kerana banyak
serangan dilakukan oleh Sultan Mahmud Shah. Beberapa percubaan untuk menewaskan
askar-askar Sultan Mahmud Shah dilakukan. Akhirnya, pada tahun 1526, seangkatan
kapal yang besar di bawah Pedro Mascarenhaas dihantar oleh negeri Portugal untuk
memusnahkan bandar Bentan.
Pada 1526,
pihak Portugis membalas dengan seangkatan kapal yang besar di bawah Pedro
Mascarenhaas dan memusnahkan ibu kota Bentan. Sultan Mahmud Shah melarikannya
ke Kampar, Sumatera tetapi anaknya, Tengku Alauddin Shah tinggal dan
mengembangkan Johor sebagai sebuah Kesultanan yang berkuasa dan yang mencapai
keunggulannya pada abad ke-18 dan ke-19. Seorang lagi anaknya Sultan Mahmud
Shah, Tengku Muzaffar Shah, dijemput oleh orang-orang utara untuk menjadi
sultan mereka dan beliau mengasaskan Kesultanan Perak. Sultan Mahmud Shah
mangkat dua tahun kemudian di Kampar pada tahun 1526.
b.
Brunei
Darussalam
Islam
merupakn agama kerajaan Brunai Darussalam. Kesultanan Brunei telah mengislamkan
wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaaannya. Situasi
politik di Negara Brunei Darussalam tampaknya sangat tenang, bahkan kerajaan
Brunei ini mengalami kemajuan pada masa Sultan Bolkiah. Namun sesudah
kepemimpinannya, kerajaan Brunei mulai goyah akibat jajahan dari kolonialisme
Eropa.
Upaya penaklukan kerajaan Brunei bermula ketika
pihak kolonial Spanyol menyampaikan surat yang berisi permohonan kepada baginda
raja Sultan Saiful Rijal agar memberi keluasan kepada para misionarisuntuk
turut mrenyebarkan ajaran kristiani dan memberikan jaminan keselamatan bagi
mereka di Brunei. Bahkan isi surat tersebut menjadikan baginda sultan marah
besar. Bulan April1578 M, terjadilah pertempuran antara Kerajaan Brunei dengan
pihak penjajah yang memakan banyak korban jiwa dari pihak tentara Brunei.
Selain itu terjadi perampasan harta benda milik Istana dan pembesar-pembesar
kerajaan oleh kolonial Spanyol. Meskipun
sempat porak-poranda akibat pertempuran itu, namun semangat juang rakyat Brunei berhasil memukul mundur
musuhnya pada bulan Juli 1578.
Sultan Saiful Rijal meninggal pada tahun 1581,
dan digantikan oleh Sultan Shah Brunei. Namun pada masa kepemimpinanya
terbilang sangat singkat. Kemudian di teruskan oleh Sultan Muhammad Hasan.
Dialah yang berhasil mengembalikan masa kejayaan kerjaan Brunei. Hal ini terlihat kemajuan di berbagai bidang,
di antaranya bidang pendidikan, keagamaan, serta perdagangan. Kemajuan ini
dibidang pendidikan di tandai dengan banyaknya sekolah-sekolah Islam yang
didirikan, di bidang keagamaan, kegiatan dakwah Islam ramai dikunjungi orang.
Saat itu perdangan juga berjalan dengan sangat baik sehingga kemasyhuran
terdengar dimana-mana.[10]
Masa kejayaan tersebut terenggut sejak Brunei
dibawah kolonial Inggris, yang menyerang Brunei hingga kerajaan Brunei
kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sedikit demi sedikit kekuasaan Brunei
mulai terkikis. Meskipun demikian, susunan Hierarki tradisional tetap bertahan.
Agama dan pendidikan agama tetap memainkan peranan penting dalam kehidupan
masyarakat, yang menyadarkan identitas Islam orang-orang Melayu Brunei. Bahasa
Melayu tetap manjadi media pengajaran keagamaan dan komunikasi di antara kaum
Muslim Brunei.
Pada tahun 1960 terjadi peristiwa penting
mengenai pembentukan Negara Malaysia.
Brunei menolak bergabung dengan Negara Malaysia karena tidak memberikan
jaminan kepada kerajaan Brunei di masa mendatang. Akhirnya pada tanggal 1
Januari 1984 kala itu bertepatan dengan kepemimpinan Sultan Hasanah Bolkiah
Brunei memperoleh kemerdekaan penuh. System politik tradisional diberlakukan
kembali dalam bentuk modern dengan keluarga raja sebagai pemegang kepemimpinan
kerajaan yang bernama Kerajaan Brunei Darussalam.
Brunei
berpenduduk 227.000jiwa (1998) dengan kaum muslim sebagai mayoritas. Sebagai
agama resmi Islam mendapatkan perlindungan dari Negara. Konstitusinya
menyatakan bahwa Negara trsebut menganut aliran ahlus sunah wal jamaah.[11]
Sebagai
agama resmi, Islam mendapat perlindungan dari Negara. Dominasi keluarga
kerajaan di bidang pemerintahan dan tidak adanya demokrasi politik memungkinkan
pemerintah memberlakukan kebijaksanaan di bidang agama dan umum lainnya tanpa
banyak kesulitan. Brunei sangat berhati-hati terhadap pengaruh luar.
Kerajaan
Brunei Darussalam merdeka pada tahun
1984 ini, konstitusinya secara tegas menyatakan bahwa Negara tersebut adalah
Negara Islam yang beraliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Peristiwa
itu benar-benar gejala baru yang menerobos tradisi politik. Seperti yang telah
mapan dalam pemerintahan dengan system kekhalifahan masa-masa yang lampau.
Perkembangan dan pandangan politik umat Islam tersebut erat dengan perkembangan
pemikiran terhadap nash yang berkaitan dengan kepemimpinan. Apaba kita
melihat perkembangan Brunei, tampak sejaalan dengaan prinsip-prinsip Ahlu
Sunnah wal Jamaah yang berimplikasi politik pada kehidupan umat Islam di
Brunei Darussalam.
Sejak
akhir abad XIX sampai abad XX, terlihat perkembangan kehidupan keagamaan
masyarakat Brunei sangat signifikan baik pada tingkat kelembagaan maupun
penerapan ide-ide reformis. Dengan masuknya orde Sufi Shadiliyyah dan Qodiriyah
wa an-Naqsabandiyah serta penekanan teks standar fiqih, secara langsung
berpengaruh pada perkembangan skripturalisasi kehidupan beragama. Perubahan
administrasi ketatanegaraan pada peralihan abad ini juga besar pengaruhnya
terhadap proses skripturalisasi dan
reformasi keagamaan, karena sulytan memilki wewenang penuh dalambidang agama,
bahkan karena wewenang itulah hubungan antara sulatan dan agama menjadi sangat
kuat.[12]
Dengan
demikian, perubahan politik dan dinamika agama yang dilancarkan pemerintah juga
berimbas pada reformasi kehidupan umat beragama. Reformasi dalam boidang
pendidikan agama yang semula dilakukan secara pribadi oleh para ulama melalui
lembaga pendidikan yang dimilikinya. Namun di periode modern, pendidikan agama
yang lebih sistemaatik mulai diperkenaalkan. Guru-guru agama harus ditatar di
sekolaah agama yang di kenal. Agama juga menjadi salah satu mata pelajaran yang
diterapkan di seluruh sekolah.
Bukti kemajuan Brunei Darussalam adalah, dengan menggunakan hukum
Syara’ sebagai Hukum Perundang-undangan. Undang-undang tersebut mencakup Hukum
Islam, Muamalat, Undang-undang Keluarga dan keterangan Acara. Penerapan Hukum
Islam ini tak lain karena penaruh kuat dari Sultan Syarif Ali yang kukuh ingin
menjadikan penduduk Brunei sebagai Muslim sejati. Hal ini kemudian berimplikasi terhaadap perilaku penduduk yang
senantiasa berdasarkan perilakunya sesuai dengan syariat Islam.
Cara pengamalan Islam di Brunei didasarkan pada madzhab Syafi’I
dalam bidang Fikih dan Ahlu Sunnah wal Jamaah di bidang akidah.
Bukti kemundurannya adalah adanya penjajahan dari Kolonialisme
Eropa, yaitu Negara Spanyol. Setelah Brunei berusaha bangkit kembai diteruskan
dengan jajahan Inggris. Dan saat itulah Brunei benar-benar dalam masa
disintegrasi. Kemudian pada tahun 1884 Brunei memproklamirkaan bahwa negaranya
telah merdeka, dengan sultan sebagai kepala negaranya.
Kesultanan Brunei Darussalam
Kesultanan Brunei terletak di Asia Tenggara dengan
luas wilayah 7565 ,
di huni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam.Islam merupakan agama
kerajaan Brunei Darussalam. Kesultanan Brunei telah mengislamkan
wilayah-wilayah kekuasaannya.
Raja Brunei Awang Alak
Betatar mula-mula belum menganut agama Islam. Lalu datang ulama dari Arab yang
sebelumnya ke tanah melayu Johor. Diantara ulama penyiar Islam adalah Syarif
Ali, yang berasal Thaif, sebuah kota kecil dekat dengan tempat umat Islam
menuju kiblat untuk Shalat. Syarif Ali melakukan pengajaran Islam kepada para
penduduk Brunei.
Raja Awang Alak Betatar tertarik menerima Islam dan mengganti
namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Lalu seluruh keluarga istana masuk Islam,
termasuk putra Sultan yang kelak menggantikannya, yaitu Sultan Ahmad.[13]
Setelah 17 tahun berkuasa, sultan Ahmad wafat dan di gantikan oleh
menantunya, sultan Syarif Ali. Hal itu dikarenakan Sultan Ahmad tidak mempunyai
anak laki-laki.
Islam mulai berkembang dengan pesat di
Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan ke-3 Brunei pada
tahun 1425. Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan cucu
Rasulullah SAW, Hasan, sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah atau
prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, ibu kota Brunei
Darussalam.[14]
Ketika menjadi raja, sultan Syarif Ali berjuang
keras menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk Brunei. Meski Islam telah ada di
Brunei semenjak abad ke-9, namun banyak pengaruh Hindu dan Budha dalam
keseharian masyarakat. Konon Sultan Syarif Ali membangun masjid bertingkat tiga
dan banyak meninggalkan warisan kebudayaan Islam yang agung. Sultan Syarif Ali
menerapkan corak kepemimpinan yang adil dan teratur dengan berasaskan hukum Isam. Pada masa ini, Brunei merupakkan
Negara yang aman dan sentosa. Itulah sebabnya, kemudian Brunei mendapat sebutan
“Brunei Darussalam” yang berarti negeri yang aman.
Kerajaan Brunei yang aman sentosa semakin
berjaya setelah jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 M,
karena sultan Brunei pada saat itu, Sultan Bolkiah mengambil alih kepemimipinan
Islam dari Malaka sehingga Brunei menjadi pusat perkembangan Islam di
wilayah-wilayah taklukan dan sekitarnya. Sejak saat itulah kesutanan Brunei
mencapai zaman kegemilangannya. Kebesaran dan kegagahan Brunei pada zaman
pemerintahan Sultan Bolkiah dianggap sebagai zaman keemasan Brunei. Pada masa
ini wilayah pemerintahan tak hanya mencakup keseluruhan Borneo, namun hingga
Pulau Pahlawan, Sulu, Balayan, Mindoro, Bonbon, Balabak, Balambangan, Bangi,
Mantanai dan Saludang. Sayangnya, kegemilangan dan kejayaan ini tidak
berlangsung lama. Sultan Bolkiah meninggal pada tahun 1524 M. estafet
kepemimpinan Brunei diberikan kepada sultan Abduh Kahar. Pada masa Sultan Abdul
Kahar inilah mulai terjadi Kolonialisme Eropa di Asia Tenggara, tak terkecuali
di Kerajaan Brunei Darussalam.
c. Thailand
Di muangthai (Thailand),
kedatangan islam telah terasa pada masa pemerintahan Kerajaan Sukhotai di abad
XIII M. perdagangan merupakan faktor-faktor dominan yang mendekatkan islam
dengan Kerajaan Ayyuthaya. Peran orang-orang muslim sebagai menteri dan
saudagar yang dekat dengan raja menjadikan mereka kelompok yang berpengaruh d
istana.
Kaum muslimin tidak hanya mampu mengontrol jalur perdagangan yang
melintasi semenanjung, namun juga mampu mengamankan kunci perjanjian
administratif diseluruh kerajaan Ayutthaya. Rapuhnya melayu pattahani di Thai
selatan, lunturnya kekuatan politik dan hilangnya peran elit tradisional mereka
menimbulkan efek melemahkan umat. Bahasa melayu yang menjadi perekat identitas
mereka menimbulkan efek melemahkan umat. Bahasa melayu yang menjadi perekat
identitas mereka dan media dalam sistem
pengajaran dihapuskan karena mendapat pengawasan dari penguasa Thai.
Komunitas Thailand yang berjumlah dua juta jiwa mengalami dilema
yang kompleks. Diperburuk oleh keadaan kelompok muslim yang berpusat di
provinsi bagian. Langkah
pertama yang dilakukan Thailand adalah intregasi administratif yang dirancang
untuk memasukkan daerah-daerah muslim itu kedalam system politik nasional yang
berpusat di Bangkok. Kerajaan Thailand bukan Negara sekular, tetapi sepanjang
abad XX undang-undang negeri ini termasuk semua konstitusi sejak tahun 1934
mengizinkan kebebasan beragama dalam pengertian yang serupa dengan kebebasan
beragama dikebanyakan Negara demokrasi sekular. Di Thailand, kaum minoritas muslim dipandang dengan sikap negatif
sebagai orang khaek.
Kesultanan
Ayutthaya
Ayutthaya
adalah ibukota kuno kerajaan Siam. Kata " Ayutthaya " sendiri
berasal dari legenda Ramayana, yaitu ibukota Rama, Ayodhya. Kata
“Ayodhya” yang sama juga menjadi dasar kata “Ngayogya karta” atau
Jogjakarta modern. Kerajaan Ayutthaya (bahasa Thai:
อาณาจักรอยุธยา) merupakan kerajaan bangsa Thai
yang berdiri pada kurun waktu 1350 sampai 1767 M. Nama
Ayyuthaya diambil dari Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin oleh Sri Rama, tokoh dalam Ramayana.
Pada tahun 1350 Raja Ramathibodi I (Uthong) mendirikan Ayyuthaya sebagai ibu
kota kerajaannya dan mengalahkan dinasti Kerajaan Sukhothai, yaitu 640 km ke arah utara,
pada tahun 1376.[15]
Dalam
perkembangannya, Ayyuthaya sangat aktif melakukan perdagangan dengan berbagai
negara asing seperti Tiongkok, India, Jepang, Persia dan beberapa negara Eropa. Penguasa Ayyuthaya bahkan
mengizinkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Perancis untuk mendirikan pemukiman di luar tembok kota
Ayyuthaya. Raja Narai (1656-1688) bahkan memiliki hubungan yang sangat baik
dengan Raja Louis XIV
dari Perancis dan tercatat pernah mengirimkan dutanya ke Perancis.
Setelah
melalui pertumpahan darah perebutan kekuasaan antar dinasti, Ayutthaya memasuki
abad keemasannya pada perempat kedua abad ke-18. Di masa yang relatif damai
tersebut, kesenian, kesusastraan dan pembelajaran berkembang. Perang yang
terjadi kemudian ialah melawan bangsa luar. Ayyuthaya mulai berperang melawan dinasti Nguyen (penguasa Vietnam
Selatan) pada tahun 1715 untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja.
Meskipun
demikian ancaman terbesar datang dari Birma dengan pemimpin Raja
Alaungpaya yang baru berkuasa setelah menaklukkan wilayah-wilayah Suku Shan.
Pada tahun 1765 wilayah Thai diserang oleh dua buah pasukan besar Birma, yang
kemudian bersatu di Ayutthaya. Menghadapi kedua pasukan besar tersebut,
satu-satunya perlawanan yang cukup berarti dilakukan oleh sebuah desa bernama Bang Rajan. Ayutthaya
akhirnya menyerah dan dibumihanguskan pada tahun 1767 setelah pengepungan yang
berlarut-larut. Berbagai kekayaan seni, perpustakaan-perpustakaan berisi
kesusastraan, dan tempat-tempat penyimpanan dokumen sejarah Ayutthaya nyaris
musnah; dan kota tersebut ditinggalkan dalam keadaan hancur.
Dalam
keadaan negara yang tidak menentu, provinsi-provinsi melepaskan diri dan
menjadi negara-negara independen di bawah pimpinan penguasa militer, biksu
pemberontak, atau sisa-sisa keluarga kerajaan. Bangsa Thai dapat terselamatkan
dari penaklukan Birma karena terjadinya serangan Tiongkok
terhadap Birma serta adanya perlawanan dari seorang pemimpin militer bangsa
Thai bernama Phraya Taksin, yang akhirnya mengembalikan kesatuan negara.
Peninggalan
yang cukup menarik dari kota tua Ayutthaya hanyalah puing-puing reruntuhan
istana kerajaan. Raja Taksin lalu mendirikan ibukota baru di Thonburi,
yang terletak di seberang sungai Chao Phraya
berhadapan dengan ibukota yang sekarang, Bangkok.
Peninggalan kota bersejarah Ayutthaya dan kota-kota bersejarah sekitarnya yang
terdapat pada lingkungan Taman
Bersejarah Ayutthaya telah dimasukkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia UNESCO. Kota
Ayutthaya yang baru kemudian didirikan di dekat lokasi kota lama,
dan sekarang merupakan ibukota dari Provinsi Ayutthaya.
Karena
dikelilingi oleh tiga sungai, maka kota Ayutthaya menjadi jalur penting
perdagangan di masa lalu. Karena kesuksesannya, konon kuil-kuil di
Ayutthaya dilapisi emas. Sayang, kesuksesan ini membangkitkan rasa iri di
negeri tetangga, Burma , yang berulang kali menyerang kerajaan
Ayutthaya ini. Akhirnya Burma berhasil mengalahkan kerajaan Ayutthaya ,
yang kelak mendirikan kerajaan baru berpusat di Bangkok . Saat Burma menjajah,
mereka merampas semua barang berharga, terutama emas. Dan untuk menyelamatkan
emas yang melapisi kuil, terpaksa kuil-kuil itu dibakar agar emasnya meleleh.
Peristiwa ini dikenang penduduk Thailand sebagai “ the burning of Ayutthaya ”.
Kerajaan Sukhohtai
Kerajaan
Sukhothai (Bahasa Thailand: อาณาจักรสุโขทัย) adalah salah
satu kerajaan tertua di Thailand yang berpusat di sekitar kota Sukhothai, berdiri sejak
tahun 1238 sampai 1438. Bekas ibukota Kerajaan Sukhothai lama berada
sekitar 12 km dari kota Sukhothai modern, yaitu di Tambon Muang Kao. Saat ini yang tertinggal di kota lama
hanyalah puing-puing kota dan Taman Bersejarah Sukhothai.[16]
Kota Sukhothai
sebelumnya merupakan bagian dari Kerajaan Khmer sampai dengan
tahun 1238, yaitu pada saat dua pemimpin bangsa Thai, Pho Khun Pha
Muang dan Pho Khun Bang Klang Hao, menyatakan kedaulatannya dan mendirikan
kerajaan untuk bangsa Thai. Pho Khun Bang Klang Hao kemudian menjadi raja
pertama Sukhothai, dan menamakan dirinya Pho Khun Si Indrathit (atau Intradit).
Kejadian ini secara tradisi dianggap merupakan awal berdirinya negara Thai
modern, meskipun terdapat beberapa kerajaan Thai yang tidak begitu terkenal,
seperti Lanna, Phayao dan Chiang Saen, yang juga didirikan sekitar waktu yang
sama.
Sukhothai
berkembang dengan cara membentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan Thai lainnya,
dimana kerajaan-kerajaan tersebut memeluk agama Buddha Theravada sebagai agama
negara dengan bantuan dari para biksu dari Sri Lanka. Pemerintahan
Intradit dilanjutkan oleh anaknya Pho Khun Ban Muang, yang pada tahun 1278
diikuti oleh saudaranya Pho Khun Ramkhamhaeng. Di bawah
pemerintahannya, yang juga disebut dengan nama Raja Ramkhamhaeng Agung,
Sukhothai menikmati masa keemasan sebagai puncak kemakmurannya. Ramkhamhaeng
dianggap sebagai pencipta alfabet Thai (secara tradisional diperkirakan tahun
1283, dengan bukti kontroversial berupa batu Ramkhamhaeng, yaitu suatu batu
berinskirpsi yang dianggap merupakan bukti tulisan Thai tertua).
Pada puncaknya,
Sukhothai diperkirakan terbentang meliputi Martaban (sekarang di Myanmar) sampai Luang
Prabang (sekarang Laos), serta ke
arah selatan di Semenanjung Malaysia sampai sejauh Nakhon Si Thammarat
(Tambralinga). Dengan demikian pengaruhnya lebih luas daripada Thailand modern,
meskipun tingkat kekuasaan yang diterapkan terhadap wilayah-wilayah tersebut
berbeda-beda.
Setelah
kematian Ramkhamhaeng, Sukhothai melemah dan berbagai kerajaan bawahannya mulai
melepaskan diri. Sementara itu Kerajaan Ayutthaya yang merupakan saingannya semakin meningkat
kekuasaannya. Pada akhirnya Raja Thammaracha II dari Sukhothai tahun 1378
terpaksa menyerahkan kekuasaannya, dan Sukhothai menjadi negara bawahan
Ayutthaya. Sekitar tahun 1430, Raja Thammaracha IV memindahkan ibukota
Sukhothai ke Phitsanulok, dan setelah
kematiannya tahun 1438, status Sukhothai berubah hanya menjadi sekedar provinsi
dari Ayutthaya.
d.
Filipina
Dahulu Islam tersebar di Filipina, hampir mencapai seluruh
kepulauannya. Disana juga telah berdiri pemeritahan Islam, seperti halnya yang
terjadi di Indonesia. Akan tetapi secara tiba-tiba muncul arus pemikiran
keagamaan yang di bawa oleh penjajah spanyol.
Pada tahun 1521 M, secara mendadak Spanyol menyerbu kepulauan-kepulauan
Filipina. Mereka datang dengan membawa seluruh dendam orang-orang salib
terhadap kaum muslimin. Maka situasi difilipina pada masa itu hampir sama
dengan situasi yang di alami oleh muslim di Andalusia. Penjajah spanyol berada
di Filipina ini hingga tahun 1898 M, hampir mencapai 4 abad.[17]
Pada 1896, presiden Mc Kinley dari AS memutuskan untuk menduduki Filipina untuk
“meng-kristenkan dan membudayakan” rakyat sebgaimana ia ajukan. Amerika
berhasil menaklukan jajahan spanyol ini pada 1898 M, tetapi Negara muslim sulu
melawan. Sulu jatuh ketangan Amerika pada 1914 setelah berjuang lama dan gagah
berani. Utuk pertamakali dalma sejarahnya bangsa Moro (nama muslim untuk tanah
air mereka di Filipina) jatuh ketentara non muslim dan kehilangan
kemerdekaannya. Pada 11 maret 1915, sultan muslim dipaksa turun tahta , tetapi
diakui sebagai ketua komunitas muslim.[18]
Amerika lalu mengumumkan kemerdekaan bagi Filipina pada tahun 1946. Sekarang
ini Islam hanya tinggal ada di wilayah selatan Filipina, yang sampai saat ini
masih menuntut pemerintahan otonom dengan segala upayanya.[19]
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina pada 4 Juli 1946 M dari
Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro.
Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata
memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada
masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front
perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM (Mindanao Independece
Movement),MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama, juga merupakan
masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan
perjuangan mereka secara keseluruhan.
Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos
berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina
dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos
merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan
Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF)
pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos. Perkembangan
berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah.
Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang
berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF)
pimpinan Hashim Salamat, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam
dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan.
Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari
mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas
Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan
dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari(ketua MNLF) dengan
Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta
lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang
telah memasuki 2 dasawarsa itu.[20]
Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara
diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan
bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang
paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara
mereka walaupun dengan penuh resiko. "Semua orang harus memilih, tidak
mungkin memuaskan semua pihak," katanya. Dan jadilah bangsaMoro seperti
saat ini, minoritas di negeri sendiri. Menurut Majul, minimal ada tiga alasan
yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi secara penuh kepada
pemerintah Republik Filipina.[21]
Pada dekade 70-an, Michael O. Masturs dan Adip Majul telah mengisi
kekosongan kritis dalam literature ilmu sosial tentang kaum muslim di Filipina.
Dalam kebijakan publik, keduanya berhasil membuat draf kitab undang-undang bagi
kaum muslim Filipina yang sekarang disahkan sebagai PD No. 1083. Ini tellah
melahirkan arah penelitian baru bagi reformasi hokum dan administrasi
pengadilan syariah di Asia Tenggara.
Perubahan rezim politik telah membuka jalan bagi reformasi ekonomi.
Kedua sarjana tersebut telah mendesak H.B 4996 yang drafnya ia buat untuk
Piagam Bank Investasi Islam Filipina. Dengan bank ini, diharapkan kaum muslim
dapat masuk ke arus utama teknik keuangan kontemporer. Dalam beberapa hal ini
berarti sumbangan pikiran dari keduanya telah mengonkretkan aspirasi sosial
ekonomi kaum muslim Filipina.
Pendekatan baru telah pula menyumbangkan terminology baru dalam
masalah hukum perdagangan dan perbankan. Terdapat kesesuaian antara ide
interpretasi hukum melalui ijtihad dan tujuan legislative melalui siyasah
seperti yang kita lihat.
Langkah penerapan hukum ini telah membuka jalan bagi prosedur
institusional untuk membuat konsensus internasional yang dilaksanakan oleh
badan tersebut guna mendirikan persatuan bank Islam. Dengan ini ijma sudah
dapat dibuat. Perkembangan UU yang mengatur bank Islam membutuhkan suatu
“pemanduan hukum)”. Undang-undang tersebut menjadi sumber hukum transaksi di
Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Mesir, Iran, Sudan, Nigeria dan negara-negara
teluk serta dalam skal keci, Filipina. Kerangka konseptual tentang mudharabah,
musyarakah dan murabahah telah diterapkan secara nyata yang dengan sendirinya
akan menciptakan suatu yurisprudensi.[22]
Salah satu bukti kejayaan islam pada masa
lampau di Filipina yakni Trasila Sulu yang berisi catatan sejarah dan atau
silsilah kerajaan sulu. Pada akhir abad 19, sebuah bertahan lama tarsila catatan (catatan garis keturunan silsilah di
Sulu) diberikan kepada penulis Najeeb
M.
Saleeby oleh Haji Abdul Baqi Buto, yang menjabat sebagai
Perdana Menteri ke politik yang berkuasa lalu Sultan Sulu - Jamal ul-Karim II.
Melalui tarsila, Saleeby berdasarkan buku terkenal yang berjudul 'Sejarah Sulu',
diterbitkan oleh pemerintah kolonial AS di Filipina pada 1908.
Buku Saleeby tidak hanya
menceritakan sejarah silsilah dari Kerajaan
Kesultanan Sulu,
serta yang naik dan turun dari kekuasaan, tetapi juga kronik bagaimana iman
Islam, diperkenalkan di dalam negeri melalui kepulauan Sulu.
Kemunduran islam di Filipina mulai
Nampak ketika spanyol datang menjajah Negara ini. Kemudian disusul kristeisasi
besar-besaran serta penindasan terhadap muslim moro. Namun sampai sekarang
hanya sedikit masyarakat islam yag tersisa di Negara Filipina yakni sekitar
wilayah selatan Filipina.
Kesultanan
Sulu
Kesultanan Sulu
merupakan kesultanan yang berada di
Filiphina bagian selatan. Islam masuk dan berkembang melalui orang Arab yang
melewati jalur perdagangan Malaka dan Filiphina. Pembawa Islam di Sulu adalah
Syarif Karim al-Makdum, mubaligh arab yang ahli dalam pengobatan. Abu Bakar
seorang da’i Arab yang menikah dengan putrid dari pangeran Bawansa dan kemudian
memerintah Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai sultan. Sayyid Abu Bakar
menerapkan Islam dalam pemerintahan
ataupun kehidupan masyarakat. Para penguasa kesultanan dimulai sejak Syarif abu
Bakar (Sultan Syarif al-Hasyim 1405-1420) hingga Sultan Jamalul Kiram II (1887)
berjumlah 32 sultan.
e.
Kamboja
Beberapa ahli
sejarah beranggapan bahwa Islam sampai di Kamboja pada abad ke-11 Masehi.
Ketika itu kaum muslimin berperan penting dalam pemerintahan Kerajaan Campa, sebelum keruntuhannya
pada tahun 1470 M, setelah itu kaum muslimin memisahkan diri.[23]
Pada permulaan
tahun 70-an abad ke-20, jumlah kaum muslimin di Kamboja sekitar 700 ribu jiwa.
Mereka memiliki 122 mesjid, 200 mushalla, 300 madrasah islamiyyah dan satu markaz
penghafalan al-Qur’an al-Karim. Namun karena berkali-kali terjadi peperangan
dan kekacauan perpolitikan di Kamboja dalam decade 70-an dan 80-an lalu,
mayoritas kaum muslimin hijrah ke negara-negara tetangga dan bagi mereka yang
masih bertahan di sana menerima berbagai penganiayaan; pembunuhan, penyiksaan,
pengusiran dan penghancuran mesjid-mesjid dan sekolahan, terutama pada masa
pemerintahan Khmer Merah, mereka
dilarang mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan, hal ini dapat dimaklumi, karena Khmer Merah berfaham komunis
garis keras, mereka membenci semua agama dan menyiksa siapa saja yang
mengadakan kegiatan keagamaan, muslim, budha ataupun lainnya. Selama
kepemerintahan mereka telah terbunuh lebih dari 2 juta penduduk Kamboja, di
antaranya 500.000 kaum muslimin, di samping pembakaran beberapa mesjid,
madrasah dan mushaf serta pelarangan menggunakan bahasa Campa, bahasa kaum
muslimin di Kamboja.
Baru setelah
runtuhnya kepemerintahan Khmer Merah ke tangan pemerintahan baru yang ditopang
dari Vietnam, secara umum keadaan penduduk Kamboja mulai membaik dan kaum
muslimin yang saat ini mencapai kurang lebih 45.000 jiwa dapat melakukan
kegiatan keagamaan mereka dengan bebas. Di samping mulai bermunculan
organisasi-organisasi keislaman, seperti Ikatan Kaum Muslimin Kamboja, Ikatan
Pemuda Islam Kamboja, Yayasan Pengembangan Kaum Muslimin Kamboja dan Lembaga
Islam Kamboja untuk Pengembangan. Di antara mereka juga ada yang menduduki
jabatan-jabatan penting dipemerintahan, seperti wakil perdana menteri, menteri
Pendidikan, wakil menteri Transportasi, dua orang wakil menteri agama dan dua
orang anggota majlis ulama.
Sekalipun kaum
muslimin dapat menjalankan kegiatan kehidupan mereka seperti biasanya dan mulai
mendirikan beberapa madrasah, mesjid dan yayasan, namun program-program mereka
ini mengalami kendala finansial yang cukup besar, melihat mereka sangat
melarat. Ini dapat dilihat bahwa gaji para tenaga pengajar tidak mencukkupi
kebutuhan keluarga mereka. Disamping itu sebagian kurikulum pendidikan di
beberapa sekolah agama sangat kurang dan tidak baku.
Saat ini kaum
muslimin Kamboja berpusat di kawasan Free Campia bagian utara sekitar
40 % dari penduduknya, Free Ciyang sekitar 20 % dari
penduduknya, Kambut sekitar
15 % dari penduduknya dan di Ibu Kota Pnom Penh hidup sekitar 30.000
muslim. Namun sayang, kaum muslimin Kamboja belum memiliki media informasi
sebagai ungkapan dari identitas mereka, hal ini dikarenakan kondisi
perekomomian mereka yang sulit.
Kaum muslimin
Kamboja khususnya dan beberapa kawasan Islam di bagian timur Asia pada umumnya
membutuhkan kucuran bantuan dari saudara-saudara mereka, khususnya
yayasan-yayasan sosial dan lembaga-lembaga kemanusiaan, mereka sangat
membutuhkan program-program yang dapat meninggikan taraf kehidupan mereka,
karena selama ini sebagian besar dari mereka bergantung dari pertanian dan
mencari ikan, dua pekerjaan yang akhir-akhir ini sangat berbahaya, karena
sering terjadi banjir dan angin topan yang menyebabkan kerugian besar bagi kaum
muslimin dan membawa mereka sampai ke bawah garis kemiskinan.
Kaum muslimin
Kamboja juga membutuhkan pembangunan beberapa sekolah dan pembuatan kurikulum
Islam yang baku, karena selama ini sekolah-sekolah yang berdiri saat ini
berjalan berdasarkan ijtihad masing-masing, setiap sekolah ditangani oleh
seorang guru yang membuat kurikulum sendiri yang umumnya masih lemah dan
kurang, bahkan ada beberapa sekolah diliburkan lantaran guru-gurunya berpaling
mencari pekerjaan lain yang dapat menolong kehidupan mereka. Mereka juga sangat
membutuhkan adanya terjemah al-Qur’an al-Karim dan buku-buku Islami, khususnya
yang berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum Islam.
f.
Singapura
Pada tahun 1965 Singapura menjadi negara yang independen dan
bergabung dalam Persemakmuran Bangsa-Bangsa pada 9 Agustus 1965. Belakangan,
Singapura di tahun 1965 secara resmi menjadi bagian dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada bulan September. Sejak, kemerdekaannya Singapura telah
berhasil lolos dari belenggu hegemoni dan standar hidup mereka telah meningkat
secara drastis.
Ada 15 persen penduduk Singapura yang Muslim. Sebagian
besar orang adalah Melayu. Pengikut lain termasuk dari komunitas India
dan Pakistan serta sejumlah kecil dari Cina, Arab dan Eurasia. 17 persen dari
Muslim di Singapura berasal dari India. Sementara mayoritas Muslim di Singapura
secara tradisional adalah Muslim Sunni yang mengikuti mazhab Syafi'i, ada juga
Muslim yang mengikuti mazhab Hanafi serta sedikit Muslim Syiah.
Islam di Singapura tidak
bisa dipisahkan dari sejarah kolonial. Pada tahun 1915, penguasa kolonial
Inggris mendirikan Dewan Penasihat Islam. Dewan ini bertugas untuk memberikan
nasihat kepada penguasa kolonial mengenai hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam dan adat-istiadatnya.
Seperti di negara-negara
sekuler lainnya, Islam di Singapura tidak mendapatkan tempat yang cukup.
Misalnya saja, tidak boleh ada kumandang adzan. Seseorang boleh melakukan adzan
di masjid, namun suaranya tak boleh keluar dari masjid. Ini yang diberlakukan
oleh MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura)—sebuah lembaga semacam MUI di
Indonesia yang memegang penuh otoritas beragama Islam di sini. Ini
supaya orang non-muslim yang mayoritas tidak terganggu. Tak ada usaha dari MUIS
untuk melakukan protes dan aksi untuk memperbaiki keadaan ini.
Pada 1966, parlemen mengesahkan Administration of the Muslim Law
Act (AMLA). Undang-undang yang mulai berlaku pada 1968 tersebut menetapkan
kewenangan dan yurisdiksi tiga lembaga Islam, yaitu:
1.
Islamic Religious Council of Singapore atau
Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) Islamic Religious Council of Singapore atau
Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) merupakan badan yang memiliki peran
penting dalam urusan agama Islam.
2.
Syariah
Court
Pada 1880, pemerintah
kolonial Inggris mengeluarkan peraturan tentang pernikahan pemeluk Islam, yakni Mahomedan Marriage
Ordinance. Ordonansi ini mengakui status hukum pribadi
kaum muslim di Singapura.
Pada 1958, berdasarkan Muslim
Ordinance (Ordonansi Muslim) 1957, didirikan Syariah Court (Pengadilan
Syariah), dengan kewenangan mendengarkan dan memutuskan perselisihan yang
berkaitan dengan pernikahan dan kasus perceraian pemeluk Islam.
Pengadilan ini menggantikan
peran kadi (hakim Islam) yang sebelumnya berwenang memberi keputusan dalam
kasus perceraian dan warisan dengan mengikuti tradisi kelompok etnik tertentu atau penafsiran mereka
terhadap hukum Islam.
3.
Registry of Muslim Marriages (ROMM).
Registry
of Muslim Marriages
bertugas mencatat pernikahan pasangan muslim (keduanya muslim). Pernikahan pasangan berbeda agama dicatat pada Registry of Marriages.
Sebelumnya, registrasi
pernikahan umat Islam juga perceraian, dilaksanakan dalam satu unit, yakni Syariah
Court. Registry of Muslim Marriages semula berkantor di sebuah rumah peristirahatan di Fort Canning, kemudian
pindah ke Canning Rise pada 1983.[24]
[1] Ajid
Thohir, Op. Cit. Hlm. 266-267
[2] Busman Edyar
dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009, Hlm. 198
[3] http://irfranskusmarna.wordpress.com/2010/08/02/sejarah-islam-di-malaysia, diakses pada hari Jum’at, 08 Juni 2012, pukul 06.00 WIB
[4]
http://muhdahlan.wordpress.com/2010/11/20/perkembangan-islam-di-malaysia/ diakses pada
hari Jum’at, 08 Juni 2012, pukul 06.00 WIB
[5] Ajid
Thohir, Op.Cit, Hlm.268
[6] Ibid,
[7] http://irfranskusmarna.wordpress.com/2010/08/02/sejarah-islam-di-malaysia,
di ases pada hari Senin, 04 Juni 2012. Pada pukul 16. 00 WIB
[8] Hamka, Sejarah Umat Islam jilid IV.
Jakarta:Bulan Bintang.1976.hlm.89
[9] Slamet
Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa
dan Tumbuhnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Yogyakarta:LKiS.2007.hlm.152
[10] file:///C:/Users/acer%27/Documents/kerajaan-brunei.htm,
di akses pada hari Sabtu, pukul 08. 30 WIB
[11] Ajid
Thohir, Op. Cit. hlm. 262-265
[12] Ajid
Thohir,Ibid. hlm. 262-265.
[13] Busman
Eydar dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2009.
Hal. 191-192
[14] http://jakarta45.wordpress.com/2009/08/20/khazanah-brunei-darussalam-kesultanan-islam-tertua-di-asia-tenggara. di akses pada hari Sabtu, 09 Juni
2012. Pada pukul 11.15 WIB.
[15] http//:
id.wikipedia.org/wiki//kerajaan ayyuthaya, di akses pada hari kamis, 7 Juni
2012, pukul 19.40 WIB
[16]
Id.wikipedia.org/wiki/kerajaan sukhotai, di akses pada hari Rabu, 06 Juni 2012.
Pukul. 15. 15 WIB
[17] Ahmad
Al Usairy, Sejarah Islam, Cet 1, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hlm 453
[18] M. Ali
Kettani, Op. Cit hlm 196
[19] Ahmad
Usairy, Ibid hlm 454
[20] http://poetrimawardi.blogspot.com/2012/04/ekonomi-islam.html
diakses pada hari senin, o4 juni 2012. Pada pukul 15. 30 WIB
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moro,
di akses pada hari Senin, pada pukul 15. 45 WIB
[22] Ajid
Thohir, perkembangan peradaban di kawasan dunia islam, Jakarta: Raja Wali
Press, 2004. hlm 278-279
[23]
http://nadeeanadnad.blogspot.com/2011/11/nadeea-0f-sejarah-islam-di-kamboja.html.
diakses pada tanggal 10 Juni 2012
[24] A.
Musthafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Bandung: Purtaka Setia, hal. 97.
[1]
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 27.
[2] Uka
Tjandrasasmita, Sejarah Nasional
Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.1984.
hlm.122
[1]Saiful
Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta :
PT. Pustaka LPSES, 1993. Hal. 23-4.
Leave a Comment