Perkembangan Islam di Afrika

Islam tampil sebagai penegas identitas universal. Ia menjadi agama bangsa-bangsa yang tersebar dipertengahan bumi ini yang terbentang dari tepi laut Afrika sampai laut pasifik selatan, dari padang rumput Siberia sampai ke pelosok Asia Tenggara yang meliputi bangsa Berber Afrika Barat, Sudan, Afrika Timur yang berbahasa swahili, bangsa Arab Timur Tengah Bangsa Turki, Irania, bangsa Turki dan persia yang ditinggal di Asia Tengah.
            Sudah kita maklumi bersama bahwa perluasan daerah kekuasaan islam mulai berkembang pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab. Khalifah Umar menyebarkan para panglimanya untuk melakukan ekspansi-ekspansi ke daerah-daerah kekuasaan Byzantium. Pada masa pemerintahan Umar ini Islam berkembang sampai ke daerah Mesir dan daerah-daerah di Afrika Utara lainnya. Perluasan wilayah ke Afrika Utara ini tidak hanya dilakukan pada masa khalifah Umar, tetapi juga pada masa Khalifah Utsman bin Affan sampai pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah.
            Dari sisi latar etnis, bahasa adat, organisasi politik, dan pola kebudayaan dan teknologi mereka menampilkan keragaman kemanusiaan, namun islam menyatukan mereka. Satu sisi, tak dapat dipungkiri sering kali terjadi konflik yang merusak dimensi totalitas kehidupan mereka, namun Islam kembali mewakil dalam setiap latar konsep, aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, dan memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup.

            Dalam kajian makalah ini, kami memfokuskan pembahasan tentang sejarah masuknya Islam di Afrika, yang didalam nya terdapat beberapa kawasan atau wilayah jajahan/dakwah islam ke berbagai kerajaan di wilayah-wilayah Afrika. Ada banyak hal yang sangat menarik, karena didalamnya terdapat perlawanan, pemberontakan umat kristen terhadap umat Islam pada awal masuknya Islam di Afrika.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, pertama kali ada kontak Islam dengan Afrika yaitu setelah beberapa sahabatnya pergi ke Habsyi dan di sana mereka dapat perlakuan baik dari masyarakat maupun dari penguasa yaitu Raja Najjasyi atau Negus.[1]pada masa Khalifah Umar Ibnu Khattab, panglima Amr bin Ash menguasai Mesir (639-644) dan setelah mengalahkan tentara Byzantium. Sepuluh tahun sebelumnya Mesir berada dibawah kekuasaan Sasania. kota Fustat dijadikan sebagai ibukota Islam pertama dibumi Afrika.
Dengan tidak banyak kesukaran Amr Bin Ash bersama pasukannya dapat memukul pasukan pertahanan Byzantium. Daerah demi daerah jatuh ketangan pasukan muslimin, mulai dari peluse, Heliopolis, dan kemudian Alexandria. Kota yang tersebut belakangan ini ketika itu sedang menjadi pusat pengajaran filsafat yunani kuno.
Sebelum jatuhnya Alexandria, sudah jatuh lebih dulu daerah-daerah pinggiran bekas wilayah Babylonia yang sekarang dikenal dengan sebutan Kairo lama. Alexandria jatuh ke tangan pasukan muslimin arab pada tahun 642 M. pada tahun 646 M, Byzantium berhasil masuk kembali menyerang Alexandria pada saat orang-orang Arab sedang dalam keadaan lengah. Tetapi dengan pengorbanan yang cukup besar, akhirnya pasukan muslimin Arab berhasil mempertahankan kota ini dan mengusir Byzantium sepenuhnya dari Mesir.[2]
Murabithun atau Al–Murawiyah merupakan salah satu Dinasti Islam yang berkuasadi Maghribi. Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama tempat tinggal mereka yang pada awalnya mereka menempati Ribat (sejenis surau), yang terletak di pulau Niger, Senegal. Para penghuni ribat tersebut dikemudian hari disebut al-Murabbitun.[1] Asal-usul dinasti ini dari Lemtuna, salah satu dari suku Shanhajah, Mereka juga disebut al-Mulassimun (orang-orang bercadar). Pada abad kesebelas pemimpin Shanhajah, Yahya bin Ibrahim, melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Dan sekembalinya dari Arabia, ia mengundang Abdullah bin Yasin seorang alim terkenal di Maroko, untuk membina kaumnya dengan keagamaan yang baik, kemudian beliau dibantu oleh Yahya bin Umar dan saudaranya Abu Bakar bin Umar. Perkumpulan ini berkembang dengan cepat, sehingga dapat menghimpun sekitar 1000 orang pengikut.
Di antara kegiatan mereka adalah menyebarkan agama Islam dengan mengajak suku-suku lain menganut agama Islam seperti yang mereka anut. Mereka mengambil ajaran mazhab salaf secara ketat. Wilayah mereka meliputi Afrika Barat Daya dan Andalus. Pada mulanya merupakan gerakan keagamaan yang kemudian berkembang menjadi gerakan religio militer.
Di bawah pimpinan Abdullah bin Yasin dan komando militer Yahya bin Umar mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara, dan kerajaan Sijilmasat yang dikuasai oleh Mas.ud bin Wanuddin al-Maqrawi. tahun 447 H/1055-1056 M. Ketika Yahya bin Umar meninggal Dunia, jabatannya diganti oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar, kemudian ia menaklukkan daerah Sahara Maroko. Tahun 450 H/1058 M ia menyeberang ke Atlas Tinggi. Setelah diadakan penyerangan ke Maroko tengah dan selatan selanjutnya menyerang suku Barghawata yang menganut paham bid.ah. Dalam penyerangan ini Abdullah bin Yasin wafat (1059 M). Sejak saat itu Abu Bakar memegang kekuasaan secara penuh dan ia berhasil mengembangkan sistem kesultanan.[2]
Kemajuan yang dicapai oleh Al-Murabithah ialah ketika gerakan itu dipimpin oleh Yusuf bin Tasyfin sejak tahun 453-498 H (1061-1106 M). Yusuf menjadi satu-satunya penguasa Al-Murabithah yang merupakan Daulah Barbar pertama yang mampu menguasai sebagian besar daratan Afrika Utara bagian Barat. Namun di lain pihak, masa tersebut sedang terjadi reconguista Kristen.[1] Pemimpin Kristen yang berkuasa ketika itu adalah Alfonso VI yang memerintah Leon dan Castile. Ia telah berjaya dan banyak memungut upeti dari para pemimpin Sevilla yang pada saat itu merupakan sebuah kerajaan kuat. Pada masa kejayaan Alfonso VI, Toledo jatuh ke tangannya pada 1085 M dan akhirnya Toledo dijadikan pusat pasukan Kristen Alfonso VI dalam rangka melancarkan reconguista.
Jatuhnya Toledo ke tangan Alfonso VI memaksa Al-Mutamid Ibnu Abbad, raja Sevilla meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin, penguasa Al-Murabithah. Yusuf mampu mengalahkan tentara Castille dan Alfonso tewas dalam pertempuran tersebut.
Pada tahun 1062 M, Yusuf bin tasyfin mendirikan ibu kota di Maroko. Dia berhasil menaklukkan Fez (1070 M) dan Tangier (1078 M). Pada tahun 1080-1082 M, ia berhasil meluaskan wilayah sampai ke Al Jazair. Dia mengangkat para pejabat Al-Murabithun untuk menduduki jabatan Gubernur pada wilayah taklukannya, sementara ia memerintah di Maroko. Yusuf bin Tasfin meninggalkan Afrika pada tahun 1086 M dan memperoleh kemenangan besar atas Alfonso VI (Raja Castile Leon) dan Yusuf bin Tasfin mendapat dukungan dari Muluk At-Thawa.if dalam pertempuran di Zallaqah. Ketika Yusuf bin Tasfin meninggal Dunia, ia mewariskan kepada anaknya, Abu Yusuf bin Tasyfin. Warisan itu berupa kerajaan yang luas dan besar terdiri dari negeri-negeri Maghrib, bagian Afrika dan Spanyol.
            Dinasti Al-Murabithun memegang kekuasan selama 90 tahun, dengan enam orang penguasa yaitu :

1. Abdullah bin Yasin (1056-1059 M)
2. Abu Bakar bin Umar (1059-1061 M)
3. Yusuf bin Tasyfin (1061-1107 M)
4. Ali bin Yusuf (1107-1143 M)
5. Ibrahim bin Tasyfin (1143-1145 M)
6. Ishaq bin Tasyfin (1145-1147 M).

Di antara penguasa Al-Murabithah, hanya Yusuf bin Tasyfin dan puteranya Ali bin Yusuf yang membuat daulah Al-Murabithah mampu mencapai puncak kejayaannya.13 Pengganti-pengganti mereka, umumya merupakan pimpinan yang lemah sehingga tidak mampu bertahan lama sebagai penguasa, apalagi membawa kemajuan yang cukup berarti. Walaupun ada usaha keras yang dilakukan oleh mereka, tetapi jauh dari yang diharapkan hingga daulah Al-Murabithah tampaknya mulai memasuki fase kemunduran dan kesuraman.
Muwahhiddun merupakan Dinasti Islam yang pernah berjaya di Afrika Utara selama lebih dari satu abad. Didirikan oleh Muhammad bin Tummart. Ibn Tumart menamakan gerakannya dengan Muwahhiddun[1], karena gerakan ini bertujuan untuk menegakkan tauhid (Keesaan Allah), menolak segala bentuk pemahaman anthropormofisme (Tajsim) yang dianut oleh Murabithun. Karena itu semangat perjuangan Ibn Tumart adalah menghancurkan kekuatan Murabhitun.
            Terbentuknya Dinasti Muwahhidun beranjak dari kondisi Afrika Utara pada waktu kekuasaan Murabithun mulai melemah. Wafatnya Yusuf bin Tasyufin pada tahun 1106 M, berakibat buruk bagi Murabithun, karena pemimpin-pemimpin setelah dia adalah orang-orang yang lemah. Kondisi semakin kacau ketika pimpinan fuqaha‟ dipegang oleh seorang sufi yang ekstrim dan mulai menyimpang dari ajaran al-Qur‟an dan Sunnah (paham tajassum/ mengatakan bahwa Tuhan mempunyai bentuk seperti tubuh manusia). Kehidupan masyarakat sudah materialistis, di samping terjadinya stagnasi dalam pemikiran para pengikut Imam Malik, yang menyatakan tidak perlu lagi mempelajari Tafsir al-Qur‟an dan hadits karena semua itu telah dilakukan oleh Imam Malik.
            Dalam kondisi demikian muncul Ibn Tumart dari kabilah masmudah pasca belajar dari beberapa daerah pusat penyebaran Islam (Kordova, Alexandria, Makkah dan Bagdad) dan juga belajar kepada al-Ghazali yang beraliran asy‟ariah. Sekitar tahun 1100 M dia kembali ke Maroko dan menyebarkan ajarannya yang mendapat sambutan baik dari masyarakat. Inti ajarannya adalah tauhidullah, mengesakan Tuhan dan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam dia kritik secara tajam. Di samping memperkenalkan ajaran itu Ibn Tumart juga mendakwakan dirinya sebagai al-Mahdi yang akan membangkitkan kebenaran dan keadilan.
            Gerakan yang dibangun berdasarkan kebenaran dan kemurnian ajaran Islam tersebut berhasil merangkul banyak pengikut dari masyarakat, walaupun terkadang dakwahnya tidak selalu mulus. Pada tahun 1117 M Ibn Tumart dan pengikutnya terusir dari tempat tersebut, sehingga dia pergi ke Marakesy . Namun, karena ditempat tersebut kehadirannya tidak begitu mendapat sambutan, akhirnya dia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Dari tempat inilah dia menyusun kekuatan yang berwujud menjadi sebuah dinasti di temani oleh Abdul Mu‟min yang ia dapatkan di Marakesy.           
            Untuk menyebarkan dakwahnya dia kirim da‟i keberbagai daerah untuk mengajak kepada kebenaran (amar ma‟ruf) dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk (nahi mungkar). Kepada pengikutnya dia menyerukan supaya mendirikan shalat tepat waktu, berakhlak terpuji, taat pada undang-undang, membuat wirid yang dibuat oleh imam Mahdi dan mendalami kitab-kitab aqidah al-Muwahhidun. Adapun untuk menggalang (membentengi) diri dari dalam, maka dibentuklah dewan, di antaranya adalah sebagai berikut[2]:

1. Dewan Menteri (ahlal-syarah/ahl-al-jama‟ah) terdiri dari sepuluh orang pemba’ah al-Mahdi sebagai kepala da‟i kalangan murid-murid, seorangnya adalah Abdul Mu‟min
2. Dewan Majelis pemuka suku yang menjadi wakil tiap suku, jumlahnya lima puluh orang (al-Khamain), dan
3. Majelis Rakyat, terdiri dari para murid (al-Thalabah), keluarga al-Mahdi (ahl al-dar), kabilah Hurghah dan orang awan (ahl Timal) Tanmaal.
           
            Tujuan dibentuk dewan tersebut adalah untuk mengkoordinir anggota dalam pengembangan agama dan juga untuk memudahkan mengkoordinir pemerintahan dari segi politik. Waktu kekuatan telah terhimpun dengan rapi datang serangan dari dinasti Murabitun kepada suku Masmudah yang membangkang kepada pemerintahan resmi, serangan tersebut dipimpin oleh Gubernur Sus dengan kemenangan dipihak Muwahhidun. Akibatnya Muwahhidun mengalami kemajuan yang pesat, dan pada tahun 1125 M di bawah pimpinan Abdul Mu‟min pasukan ini menyerang kota Marakesy tetapi mengalami kegagalan.
            Pada tahun 1130 M Ibn Tumart menemui ajalnya, sehingga melalui kesepakatan Dewan Menteri dinobatkanlah Abdul Mu‟min menjadi khalifah pengganti al-Mahdi dengan sebutan Amiru al-Mu‟minin. Setelah dinobatkan sebagai khalifah kerjanya adalah mengakhiri Dinasti Murabithun dan menundukkan kabilah yang ada di Maroko. Akibatnya secara resmi berdirilah Dinasti Muwahhidun di Maroko dan menjadikan Maroko sebagai pusat pemerintahannya setelah daerah ini ditaklukan pada tahun 1146 M dengan para pemimpin sebagai berikut[3]:

1. Ibn Tumart (w.1130 M)
2. Abdul Mu‟min (w.1163 M)
3. Abu Yaqub Yusuf ibn Abdul Mu‟min (w.1184 M)
4. Abu Yusuf Yaqub ibn Abu Yaqub Yusuf (w.1199 M)
5. Muhammad ibn al-Nashir (w.1214 M)
6. Al-Muntashir (w.1223 M)
7. Abdul Wahid ibn al-Muntashir (w.1224 M)
8. Abu Muhammad al-Adil(w.1227 M)
9. Al-Ma‟mun (w.1233 M)
10. Abdul Wahid II (w.1243 M)
11. Al-Mutamid (w.1266 M)
12. Al-Wasiq.
           
            Pada tahun 1129 M, di bawah komando Abu Muhammad Al Basyir, kaum Muwahiddun menyerang ibu kota Murabithun. Peristiwa itu terkenal dengan nama perang Buhairah. Dalam perang itu Muwahhidun kalah dan mengakibatkan meninggalnya Ibn Tumart.
            Pada tahun 1163 M, Abdul Mu’min bin ‘Ali diangkat sebagai pemimpin menggantikan Ibn Tumart. Di bawah kepemimpinannya Al-Muwahiddun meraih kemenangan. Pada tahun 1131 M Muwahiddun menguasai Nadla , Dir’ah Taigar, Fazar dan Giyasah. Pada tahun 1139 M, Muwahiddun melancarkan serangan ke pertahanan Murabithun sehingga jatuh ketangan kaum Muwahiddun. Fez kota terbesar kedua setelah Marrakech, direbut al-Muwahhidun pada tahun 1145 M. Setahun kemudian berhasil menguasai Marrakech dan menjatuhkan Murabithun.
            Setelah berhasil menjatuhkan Murabithun Abdul Mu‟min memperluas wilayah kekuasaannya, pada tahun 1152 M Al-Jazair direbutnya. 6 tahun berikutnya wilayah Tunisia dikuasai dan 2 tahun setelah itu Tripoli jatuh ketangannya. Kekuasaannya dari Tripoli hingga ke Samudera Atlantik sebelah Barat, suatu prestasi gemilang dan belum pernah dicapai oleh Dinasti manapun di Afrika Utara. Pada tahun 1162 M, Abdul Mu‟minmemperluas wilayahnya ke daerah yang dikuasai orang Kristen, tetapi pada tahun itu Abdul Mu‟min wafat. Ia diganti puteranya Abu Ya‟kup Yusuf ibn Abdul Mu‟min (1184 M). Ia memperluas wilayah di utara dari timur pada tahun 1169 M dibawah Abu Hafs al Muwahhidun, dia berhasil merebut Toledo.
Semenjak Abdul Mu‟min dinobatkan sebagai khalifah, dengan secara cepat dia melakukan penaklukkan terhadap daerah-daerah kekuasaan Murabitun, dengan ditaklukkannya kekuasaan Murabitun yang merupakan lahan-lahan yang subur serta jalur perdagangan, maka terciptalah kemajuan pada dinasti tersebut. Berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh daulah Al-Muwahhidah adalah sebagai berikut;

1. Dalam bidang politik, telah menguasai wilayah kepulauan Atlantik sampai ke daerah teluk Gebes di Mesir dan Andalusia.
2. Dalam bidang ekonomi, mereka telah berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan beberapa daerah di Italia, seperti perjanjian perdagangan dengan Pisa pada 1154 M, Marseie, Voince dan Syicilia, pada 1157 M yang berisi ketentuan kentang perdagangan, izi mendirikan gudang, kantor. Loji dan bentuk-bentu pemungutan pajak.
3. Dalam bidang arsitektur, mereka banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk monumen, seperti Giralda, menara pada masjid Jami Sevilla, Bab Aguwnaou dan Al-Kutubiyah, menara yang sangat megah di Marakiyah serta menara Hasan di Rabbath.
4. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, banyak melahirkan orang-orang terkenal, seperti: Ibrahim bin Malik bin Mulkun, seorang pakar alQur‟an dan ilmu nahwu. Al-Hafidz Abu Bakr bin Al-Jad, seorang ahli Fiqh, Ibnu Al-Zuhr, seorang ahli kedokteran. Ibnu Thufail dan Ibnu Al-Rusyd adalah filsuf muslim yang sanagt terkenal.
 Adapun faktor kemunduran daulah Muwahhidun ini disebabkan oleh[1]:
a. Perebutan tahta dikalangan keluarga daulah.
b. Melemahnya kontrol terhadap penguasa daerah.
c. Mengendurnya tradisi disiplin.
d. Memudarnya keyakinan akan keagungan misi Al-Mahdi Ibnu Tumart, bahkan namanya tak disebut lagi dalam dokumen negara. Begitu pula pada maat uang masa terakhir.

Ketika Dinasti Abbasiah di Baghdad mulai melemah,lahirlah kekhalifahan Fatimiah, salah satu dinasti Islam beraliran syi.ah Isma.iliah, pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Kekhalifahan Fatimiah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang Syi.ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Kekhalifahan ini lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiyah di Baghdad dan Umayah II di Cordova. Pendiri dinasti Fatimiyah adalah Sa.id Ibnu Husain.[1] Sejak berdirinya Dinasti Abbasiah, mereka secara diam-diam menyebarkan misi Isma.iliah dibawah pimpinan yang cermat. Gerakan ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya dinasti fatimiah. .
            Pada 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman yang bernama Abu Abdullah Al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al-Mahdi. Ia kemudian pergi ke Afrika Utara dan berhasil mendapat dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Sa.id mengumumkan dirinya sebagai pendiri Dinasti Fatimiah di Raqqadah sebagai ibukota, mulailah sejak saat itu berdiri kekhalifahan Fatimiah dengan khalifah pertama Sa.id dengan gelar „Ubaidillah al-Mahdi.[2]
            Pada 934 M, Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Al-Qasim dengan gelar al-Qoim (934 M/323 H-949 M/335 H). Al-Qaim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Al-Qoim meninggal dunia kemudian diganti oleh anaknya Al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad. Al-Mansur kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma.ad dengan gelar Al-Mu.iz. Pada masa awal pemerintahannya, al-Mu.iz berhasil menaklukkan Maroko, Sycilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo Lama (Fusthath) dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyah. Setelah memerintah di Mesir, Fatimiah membangun kota Kairo Baru (Al-Qihiroh) dan terus memperluas kekuasaannya sampai ke Palestina, Suriah dan mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.
            Setelah Al- Mu.iz meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Al-Aziz. Ia terkenal sebagai seorang yang pemberani dan bijaksana. Di bawah pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al-Aziz seluruh Syria dan Mesopotamia bisa ditaklukkan. Mesir menjadi saingan berat bagi Baghdad yang kekuasaannya mulai lemah di bawah penguasaan Bani Buawaihi. Penguasa Fatimiyah, Al-Aziz dan penguasa Baghdad Buwaihi menjalin persahabatan dengan cara saling menukar duta. Manaseh, seorang Yahudi diberi jabatan tinggi di istana. Pada masa Al-Aziz ini kedamaian antaraumat beragama terjalin dengan baik dalam waktu yang cukup lama.[3]
            Dalam pemerintahannya, al-Aziz sangat liberal dan memberikan kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang, bahkan ia telah mengangkat seorang wazirnya dari pemeluk agama Kristen yang bernama Isa ibnu Nastur, Disamping itu Khalifah-khalifah daulah fathimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang, tetapi yang berperan adalah:
1.      Ubaidillah Al-Mahdi
2.      Qo.im (322 H/934 M)
3.      Mansur (334 H/945 M)
4.      Mu.izz (341 H/952 M)
5.      Aziz (364 H/973 M)
6.      Hakim (386 H/996 M)
7.      Zahir (411 H/1020 M)
8.      Mustansir (427 H/1035 M)

Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan Al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berikut.
a)      Bidang Pemerintahan
            Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebgai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaanya khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
            Menteri-menteri (wazir) kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Yang dibagi oleh kelompok militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil diantaranya:
v  Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang;
v  Ketua dakwah, yang memimpin darul hikam (bidang keilmuan);
v  Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran;
v  Bendaharawan negara, yang membidangi baitul mal;
v  Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah;
v  Qori, yang membacakan AlQur'an bagi khalifah kapan saja dibutuhkan.
            Selain dari pejabat istana ini, ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syria dan Asia Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiyah dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.
            Ketentaraan dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, juyutsiyah dan sudaniyah.
b)      Filsafat
            Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti fatimiyah ini adalah ikhwanu shofa.
            Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah Ismailiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu.tazillah terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani.
            Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Fathimiyah ini diantaranya Sebagai berikut:
1. Abu Hatim Ar-Rozi
2. Abu Abdillah An-Nasafi
3. Abu Ya.kub as-Sajazi
4. Abu Hanifah An-Nu.man Al-Maghribi
5. Ja.far ibn Mansur Al-Yamani
6. Hamiduddin Al-Kirmani

c)      Keilmuan dan Kesusastraan
            Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar per bulannya. Pada masnay, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Al-Tamimi. Disamping Al-Tamimi ada juga seorang ahli sejarah yang benama Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi dan ibnu Salamah Al-Quda.i: seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al-Aziz yang berhasil membangun Masjid Al-Azhar.
            Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatimiyah ini adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut daarul hikam atau daarul ilmi yang dibangun oleh Al-Hakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin ke-Syiahan. Pada masa ini ada al-Hakim mengeluarkan dana sebanyak 257 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.
            Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis Ali ibnu Yunus, kemudian Ali Al-Hasan dan Ibnu Haytam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematik, astronomi, filsafat, dan kedokteran telah dihasilkan.
            Pada masa Al-Mustansir, terdapat perpustakaan yang didalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illuminated Alquran. Ini merupakan bukti besar kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d)     Ekonomi dan Sosial
            Di bawah fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik.
            Pada suatu festival, khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal. Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukurang sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlihat sangat banyak di setiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besranya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan sisi kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir.
            Para khalifah sangat dermawan dan sangat memerhatikan warga mereka yang non-Muslim. Dibawah pemerintahannya, orang-orang Kristen diperlakukan dengan baik, apalagi pada masa pemerintahan Al-Aziz ia adalah salah seorang khalifah Fatimiyah yang sangat menghargai orang-orang non-Muslim. Orang-orang suni pun menikmati kebebasan bernegara yang dilaksanakan khalifah-khalifah Fatimiyah sehingga banyak diantara da.i-da.I Sunni yang belajar di Al-Azhar.
            Walaupun Dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam men-Syiahkan orang Mesir, tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syiahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial yang aman dan tentram.

Dinasti Mamluk mulai bangkit bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Baghdad dan pengunduran Islam di spanyol. Dinasti Mamluk ini didirikan oleh para hamba. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyyah sebagai hamba, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pada masa penguasa Ayyubiah yang terakhir, Al-Malik Al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Dan mereka juga mendapat hak-hak istimewa di masa itu, baik dalam bidang ketenteraan maupun dalam perolehan benda-benda. Di Mesir, mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan tentara. Dan karena itulah, mereka dikenali dengan julukan Mamluk Bahri (laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.
            Golongan Mamluk ini berasal dari berbagai suku bangsa di wilayah Balkan, Asia Kecil, dan Transoksiana, yang sering disebut dengan suku bangsa Turki (at-turk), sehingga pemerintahan mereka dinamakan Daulah at-Turk. Suku-suku bangsa Mamluk adalah Turkoman, Kurdi, Romawi, Turki, Circasian, dan Kaukasus (Qapjaq). Di negeri asalnya, mereka adalah suku-suku pengembara yang hidup berpindah-pindah tempat. Dimusim panas, mereka menempati suatu wilayah dan di musim sejuk, mereka mencari wilayah lain yang lebih sesuai.
            Terbentuknya Dinasti ini tidak dapat dipisahkan dari dinasti ayubiyah ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Al-Malik As-Shalih dan Al-Malik Al-Kamil. Dalam perebutan kekuasaan ini para tentara yang berasal dari suku Kurdi memihak kepada Al-Malik Al-Kamil, sementara yang berasal dari budak tergabung dalam Mamluk Bahriyun mendukung Al-Malik As-Shalih. Dalam perebutan kekuasaan Al-Malik As-Shalih mampu mengalahkan Al-Malik Al-Kamil.
            Ketika Al-Malik Al-Salih meninggal ( 1249 M ), anaknya Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Isteri Al-Malik Al-Salih, Syajarah Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan persepakatan golongan Mamalik, yang berkuasa lebih kurang tiga bulan.
            Kemudian dia menikah dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). setelah meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundur diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz.
            Setelah Qutus meninggal dunia, Baybars, seorang pemimpin tentara yang teguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan ( 1260-1277 M ). Beliau adalah sultan yang terbesar dan termasyhur di antara 47 Sultan Mamalik. Ia pula dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik kerana kerajaannya yang begitu utuh dan kuat.

Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M. Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M. Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi abdi dari putra Zangi bernama Nuruddin.
            Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni[1].
            Penaklukan atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi.i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir.
            Najmudin Ayub adalah seorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, dibawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir.
            Kedatangan Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk menggusir Almaric yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal 1169 M digantikan Shalahuddin (keponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati simbol-simbol Syi.ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
            Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia).
            Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
            Sampai ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh,kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan al-Kamil Dinasti Ayubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mendapat tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil mengembalikan Jerusalem kepada kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan ekonomi besar bagi Mesir dan Siria. Hiduplah kembali perdagangan dengan kekuatan Kristen Mediterrania.
            Setelah al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6 dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prancis St. Louis ditangkap, tetapi kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayubiyah keseluruhan.

Pada masa kekhalifahan, afrika merupakan bagian dari pusat peradaban islam di dunia. Dikawasan itu pernah tersimpan puluhan ribu naskah, tulisan, ataupun transkrip berbagai ilmu pengetahuan. Sayangnya, seiring dengan meredupnya pengaruh peradaban islam, kawasan yang dahulunya merupakan pusat kemakmuran itu kini telah tenggelam dan hilang ditelan zaman.
            Dunia saat ini tidak mengenal timbuktu sebagai pust peradaban islam. Dunia hanya mengenaol timbuktu sebagai yang berisikan bangunan antik yang hanya berfungsi sebagai cagar budaya saja. dikala zaman keemasan itu kota ini pernah memiliki sebuah perguruan tinggi dan madrasah tersohor dengan nama sankore. Universitas sankore dibangun pada tahun 1581 diatas kota kuno yang berdiri sejak abad 13-14 masehi. Saat itu, perguruan tinggi ini menjadi pusat pendidikan islam, dengan kajian utama alquran, astronomi logika serta sejarah. Salah satu tokoh cendekia ternama saat itu adalah ahmad baba[1].
            Bahkan kota inipun pernah menjadi kota perdagangan yang ramai. Sehingga sebuah kebakaran yang hebat memusnahkan seluruh sisa-sisa peradaban yang ada di kota tersebut. Abad ke 15 dan 16 disebut sebut sebagai masa keemasan timbuktu selain itu, ilmu pengetahuan juga lumayan berkembang. Namun yang menjadi titik perjuanngan islam diafrika ini adalah usaha menyebarkan bidang politik, kekuasaan dan kejayaan islam.




                [1] Thohir, Ajid, Op cit, hal 43




                [1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 283. 




                [1] kemungkinan ia adalah keturunan Abdullah ibbn Maimun, pemimpin Syi’ah dari Persia
                [2] M. abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), cet.I, 2007, hal.190-191.
                [3] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta; Grafindo Persada; 2004, hal.112-114.





                [1] Musyrifah Sunanto, Op cit, h. 143.  




                [1] Secara etimologis Al-Muwahhidah ialah “penganut paham tauhid”, sedangkan secara terminologis, Al-Muwahhidah adalah sebutan yang dipakai bagipara pengikut Ibnu Tumart yang menekankan ajaran tauhid serta menentang kekafiran dan paham antromorfistik (tajassum) serta menyerukanumat untuk amar ma’ruf nahi munkar.

                [2] Musyrifah Sunanto, Ibid, h.139-140.
                [3] Ahmad Al-Usairy, SEJARAH ISLAM; Sejak Zaman NAbi Adam hingga Abad XX, (Jakarta:Akbar Media Sarana), 2008, hal. 239. 









                [1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Pengetahuan Islam), (Jakarta: Prenada Media), cet.I, 2003, hal.132.
`               [2] Musyrifah Sunanto Ibid, hal.133




                [1]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009, hlm. 184.
                [2] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, Cet I. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1981, hal 58.




No comments

Powered by Blogger.