Dasar Hukum Perwalian
Dalam
konteks sistem hukum Indonesia, landasan hukum perwalian telah diatur dalam UU
no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Dalam UU
no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur dalam pasal 50 ayat (1-2)
dinyatakan bahwa:
(1) Anak
yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali.
(2)
Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Kemudian
dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB XV mengenai perwalian Pada Pasal 107 ayat
(1-4) dinyatakan bahwa:
(1)
Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan
(2)
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
(3) Bila
wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut,
(4) Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Sedangkan
Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada
firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama
pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang
tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar
yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama
hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.[1]
Ayat ini
menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah
ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut
secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta
sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak-anak
yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga
dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat
berikutnya.Allah berfirman:
“Dan
ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak
yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan
itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”.[2]
Selain
adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan
jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah
sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan
memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)”.[3]
Selain
itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan
dan dasar hukum mengenai perwalian. Nabi saw bersabda: “Jauhilah oleh kalian
tujuh macam dosa yang membinasakan, para sahabat bertanya, “Apa sajakah
dosa-dosa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mempersekutukan Allah, Sihir,
Membunuh Jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan
riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita
mukmin yang memelihara kehormatannya”.[4]
Leave a Comment