Hukum Sebagai Institusi Sosial Dalam Masa Transisi
Bagi tatanan hukum responsif,
hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar
suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan
fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi
sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang
melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan
oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma
hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab hukum
dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam
keadaan yang berubah pula.[1]
Menurut
catatan Nonet-Selznick, masa dua dekade terakhir, merupakan masa bangkitnya
kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum,
yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang
mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan
keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan
itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif
dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi
hukum maupun semangat pembaruan.[2]
Nonet dan Selznick lewat hukum
responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang
terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima
perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Bahkan
menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan program dari sosiological jurisprudence dan realist jurisprudence.[3] Dua
aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik
melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran
kebijakan dalam putusan hukum.
Hukum responsif merupakan teori
tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka
terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja
dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan
tujuan (the souvereignity of purpose),
yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum itu. Lebih lanjut Nonet dan Selznick secara tersirat mengkritik
model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di
dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan
tipe hukum otonom.[4]
Sebaliknya dalam
hukum responsif, pemahaman mengenai hukum
melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum
itu. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua “doktrin” utama.
Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua,
kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.[5]
Karena
kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif
menekankan: (1) Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum, (2)
Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan, (3) Pertimbangan
hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat,
(4) penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum
dengan tetap berorientasi pada tujuan, (5) Memupuk sistem kewajiban sebagai
ganti sistem paksaan, (6) Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam
menjalankan hukum, (7) kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum
dalam melayani masyarakat, (8) Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai
gugatan terhadap legitimasi hukum, (9) Akses partisipasi pubik dibuka lebar
dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.[6]
Friedmann[7] menghubungkan
dengan tujuan dan maksud hukum, menurutnya ia merupakan konsep yang sulit untuk
dibahas. Tujuan adalah maksud para pembuat
hukum. Cukup sulit untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh pihak otoritas.
Sebuah badan legislatif terdiri atas ratusan orang. Banyak keputusan yang
dibuat oleh panel atau komisi. Para pembuat hukum mungkin memiliki banyak
maksud yang berlainan. Mereka mungkin mengatakan sesuatu namun tujuannya bukan
itu. Sekali lagi, apakah tujuan atau maksud berarti pengertian aslinya? Apakah
hal itu yang ada dalam benak legislator ketika mereka membuat hukum, barangkali
berabad-abad yang lalu? Apakah ide dan kebutuhan sosial yang baru relevan
dengan “tujuan” sebuah hukum? Konsep “maksud” dan akibatnya pada interpretasi
perundangan yang tidak henti-hentinya dibahas dalam literatur hukum.[8] Seorang
hakim menghadapi masalah ini ketika ia dituntut untuk “menerapkan” sebuah
undang-undang atau regulasi. Masalah juga muncul bagi para aktor hukum lainnya,
para administrator, polisi-bahkan bagi para warga biasa yang dituntut untuk
mematuhi norma atau perintah tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Maksud tidak sama dengan tujuan tersurat. Retorika sebuah peraturan
seringkali tidak mengungkapkan “alasan riil” di baliknya. Ada banyak lapisan
dan hirarkhi maksud, misalnya, apa tujuan sistem peraturan mengenai kecelakaan
kendaraan bermotor? Salah satu tujuannya, yang disebut oleh Guido Calabresi
sebagai “keadilan,” adalah untuk menyesuaikan biaya atau konsekwensi secara adil di antara orang-orang yang
terlibat dalam kecelakaan itu.[9] Tujuan
lain adalah untuk mengurangi jumlah dan masalah akibat kecelakaan itu sendiri.
Yang lainnya lagi adalah untuk menurunkan biaya sosial dari kecelakaan, berapa
pun jumlahnya. Satu sub tujuan penting adalah untuk mengurangi biaya pengurusan
sistem penanganan kecelakaan. Peraturan kecelakaan yang berbeda berlaku untuk
mencapai tujuan yang berbeda.
Sebagai contoh, hukum ganti rugi
menyebut tentang ketentuan batas masa berlaku. Sesudah berlalu tenggat waktu
tertentu, seorang yang dirugikan tidak bisa menggugat pihak lainnya atas
kerugian yang timbul. Peraturan ini tidak mencegah terjadinya kecelakaan atau
memangkas biasa sosialnya. Hal itu berlaku sebagai tujuan administratif dan,
bisa jadi, juga sesuai dengan pandangan masyarakat mengenai asas keadilan.[10] Bahkan satu buah tindakan hukum pun bisa memunculkan persoalan konflik
antar tujuan. Mengapa ada rambu-rambu dan lampu lalu lintas? Apakah hal itu
untuk menghindarkan kecelakaan? Untuk mempercepat arus lalu lintas? Untuk
memastikan siapa yang berhak berjalan? Apakah semua tujuan itu berlaku?
Keadilan bagi masyarakat adalah seperti tulang belakang manusia – memberi
respon secara fungsional untuk masalah yang berkembang. Jika bentuk tulang belakang
mengalami masalah, kita akan mengatakan bahwa dari perspektif fungsional,
tulang belakang manusia adalah suboptimal. Mulai dari awal, kita akan merancang
secara berbeda. Tapi kita tidak mulai dari awal.
[1]
Satjipto
Rahardjo. Hukum dan Perilaku,
Hidup Baik Adalah Dasar hukum Yang Baik. (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009). 19
[2] Sabian Utsman, Living Law Transformasi Hukum Saka Dalam Identitas Hukum
Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) 58
[4] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progressif (Penjelasan
Suatu Gagasan),” Makalah disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4
September 2004 (dalam Bernard L. Tanya,.. 206).
[6] Ibid 115-125
[7]
Lawrence M. Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.
Penerjemah M. Khozim. (Bandung: Nusa Media, 2013) 65
[10] Guido Calabresi, The Costs of Accidents (1970), 24-33, dalam Friedmann
Leave a Comment