Perwalian Dalam Islam

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman", "klien", "sanak","pelindung". Umumnya kata tersebut menunjukkan arti "sahabat Allah" dalam frase walīyullah.
Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”[1]
Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, yaitu : kewenangan, bertindak sebagai wakil, kepentingan anak, tidak mempunyai orang tua, orang tua tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan kewenagan dalam definisi tersebut adalah kewenagan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan perwalian berdasarkan penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam definisi tersebut ada kata bertindak sebagai wakil, artinya wali tersebut merupakan sebagai pengganti dari orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan anak. Lalu dalam definisi terdapat kata “Tidak mempunyai orang tua atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya meninggal dunia atau hilang dan boleh jadi pergi tanpa kabar apapun kepada anaknya, sehingga dapat menelantarkan anak. Yang dimaksud dengan tidak cakap hukum adalah orang tidak berhak dalam melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap hukum antara lain : orang gila, anak-anak dan orang dibawah pengampuan.
Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni sebagai berikut:
a.                   Perwalian jiwa (diri pribadi)
b.                  Perwalian harta
c.                   Perwalian jiwa dan harta
Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak dalam hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini artinya si wali berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah perwaliannya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim[2] yaitu perwalian terhadap anak menurut hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.



[1] Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal 205
[2] Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.

No comments

Powered by Blogger.